Lihat ke Halaman Asli

Bayu Fitrah Kurniawan

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang

Kegagalan Membaca Tuhan

Diperbarui: 11 Juni 2023   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.satutrik.com

Sebagai makhluk, manusia memiliki peran dalam menjalankan fungsi hidup yang telah ditentukan oleh Tuhan. Tuhan sebagai Mudabbir (Maha Pengatur) pasti telah memposisikan masing-masing individu makhluk-Nya kepada suatu porsi yang tepat, meski masih banyak yang merasa nasibnya belum sebaik orang lain, tak seberuntung orang lain, selalu merasa bahwa tiap-tiap apa yang dialami adalah hal paling pedih dan sakit yang telah Tuhan beri, seolah tak ada yang lebih pedih dan sakit dari pada yang ia rasa. Hal ini tentu saja tergantung bagaimana perspektif kita dalam memandang suatu fenomena yang terjadi dalam hidup. Suatu masalah tidak akan menjadi masalah jika kita tidak menganggapnya sebagai suatu masalah (Pidi Baiq).

Makhluk yang dapat menemukan dan mengenali jati diri kebanyakan lahir dari sebuah proses pencerahan diri, yakni bagaimana ia memandang suatu perbedaan yang terjadi sebagai sebuah relativitas. Bahwa sebuah nilai bukan terletak pada emas atau tanah liat, miskin atau kaya, gendut atau seksi, dan semacamnya, namun terletak pada pemaknaannya. Hal yang dalam pandangan banyak orang adalah suatu yang buruk pun pasti bisa kita syukuri jika kita berhasil memaknai. Tak ada suatu apa pun dalam hidup yang benar-benar baik, dan tak ada suatu apa pun dalam hidup yang sepenuhnya buruk. Ada baik dalam buruk, ada buruk dalam baik.

Hal ini pun dapat ditarik kepada konsep surga dan neraka. Surga belum tentu baik, dan neraka pun belum tentu buruk. Surga akan menjadi suatu hal yang buruk ketika hanya dimaknai sebagai kenikmatan yang akan memuaskan hasrat-hasrat diri, dan neraka akan menjadi suatu kenikmatan ketika dimaknai sebagai proses refine (pemurnian kembali) dosa-dosa yang ada dalam diri, untuk kemudian siap di daur ulang dan menjajaki surga. Meskipun pasti akan ada penderitaan dalam neraka, namun jika dilandasi dengan cinta, bukankah segala derita dan sengsara akan menjadi nikmat? Seberapa pedihnya derita yang kita rasakan tentu saja tetap akan menjadi nikmat manakala demikian dapat kita maknai sebagai proses menuju kebersatuan kepada Sang Hyang Jati.

Dewasa ini, masa hidup manusia terbagi menjadi beberapa bagian peradaban yang masing-masing memiliki ciri khas dan karakteristiknya masing-masing. Ada peradaban kuno, peradaban tengah, dan peradaban modern. Setiap masa terbentuk dari suatu perspektif tertentu yang berkembang di kalangan masyarakat yang hidup pada masa peradaban tersebut. Dalam perspektif peradaban kuno, bisa dikatakan bahwa peradaban manusia pada masa itu masih sangat sederhana, belum sekompleks dan semaju peradaban modern. Tapi kenyataan berkata lain, manusia modern tidak bisa begitu saja men-judge bahwa peradaban kuno adalah peradaban yang tertinggal, jauh dari kecerdasan dan kemajuan. Hal ini dapat didasarkan kepada peninggalan-peninggalan peradaban kuno yang para ilmuwan modern pun dapat kesusahan dalam menafsirkan misteri-misteri peninggalan kuno.

Misalnya adalah Piramida Khufu di Mesir. Bagaimana peninggalan peradaban kuno sebesar dan semegah itu ada dalam pemilihan lokasi desain dan kesejajaran dengan fenomena alam yang membutuhkan hitungan-hitungan rumit yang manusia modern saja belum tentu bisa menghitungnya? Demikian memang tak sesederhana itu. Kita bisa saja menilai dan memaknai apa pun dengan manasuka, namun data dan fakta yang ada akan mematahkan tafsiran-tafsiran tak berumah yang kita lontarkan. Akan selalu ada kecenderungan dalam diri manusia, kecenderungan kepada hal baik dan buruk tentu saja. Keduanya akan selalu berdampingan, dan keduanya juga memili peran dan fungsinya masing-masing. Kecenderungan baik dapat direpresentasikan dengan malaikat, kecenderungan buruk dapat direpresentasikan dengan iblis, dan akal akan berfungsi sebagai pengontrol keduanya untuk menciptakan sebuah keseimbangan diatas dua sandingan relativitas yang berbeda.

Segala sesuatu yang ada dalam hidup akan ada kemungkinan untuk berubah di sepersekian waktunya, hanya Tuhan yang tak akan pernah berubah. Salah satu hal juga rentan berubah adalah mindset (pola pikir) yang pastinya sangat banyak dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, prasangka, dan perkiraan. Kita hidup di negara yang beragama, dan dalam keberagamaan ini pasti pola pikir kita banyak dipengaruhi pengalaman, pendidikan, dan prasangka. Kita dapat mengambil contoh dari kitab suci. Hanya ada satu kitab suci dalam satu agama, namun penafsiran dan pemahaman pembacanya pasti berbeda dan banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Bahkan perbedaan ini dapat dikerucutkan kepada level individu. Pendidikan bisa saja sama, namun pengalaman dan pemikiran tiap individu pasti berbeda.

Banyak aspek yang dapat mempengaruhi manusia dalam membaca lingkungan. Membaca lingkungan sama saja membaca Tuhan, karena Tuhan menyatu dengan segala apa yang diciptakannya. Masih banyak yang gagal memahami situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekitar. Namun kiranya segala hal yang terjadi, entah baik ataupun buruk pastinya telah menjadi kodrat yang membawa pembelajaran berharga bagi seluruh alam semesta. Sesuai konteks pembahasan diawal, bahwa baik dapat direpresentasikan dengan malaikat, dan buruk dapat direpresentasikan dengan iblis. Malaikat dan iblis sama-sama memiliki tugas dan kewajibannya masing-masing dalam menghamba  kepada Tuhan. Maka dari itu tidak terlalu penting menilai baik dan buruknya sesuatu, yang terpenting adalah bagaimana cara kita memaknai segala apa yang terjadi. Setiap buruk ada baiknya, setiap baik ada buruknya.

Lantas di zaman yang serba canggih ini, sebagian orang lupa dengan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Bukan Tuhan yang disembah dan yang dianut, namun modernisme. Sebagian orang yang lain ada pula yang  memilih untuk tertutup dari perkembangan zaman yang hingar bingar. Dengan dalih penghambaan kepada Tuhan, mereka patirasa terhadap perkembangan zaman. Dari dua fenomena tersebut, akan timbul dua prasangka yang saling tikam. Orang-orang fanatik agama akan menilai bahwa orang yang sibuk dengan duniawi adalah orang-orang tanpa iman dan anti ketuhanan, dan para pelaku perkembangan zaman akan menilai bahwa orang-orang yang agamis adalah orang-orang kaku yang tak mengakui bahwa kehidupan kulturalnya sebagai manusia modern. Mengapa penghambaan kepada Tuhan terpenjara dalam kekakuan peribadatan? Apakah definisi Ibadah hanya pergi ke Masjid, Gereja, Pura, dan Vihara? Mengapa begitu banyak orang yang mengaku ahli ibadah tapi anti sosial dan tertutup dengan perkembangan kultural zaman? Mengapa pula para pekerja dan pelaku perkembangan zaman tak pernah dianggap sebagai suatu bentuk pengibadatan kepada Tuhan? 

Menyembah Tuhan tapi tak bersosial, tertutup dari budaya, dan tak ingin bekerja dengan dalih bid'ah, tak sesuai dengan ajaran Agama dan semacamnya ya apalah guna? Pelaku sosial budaya, para pekerja yang bertujuan menafkahi keluarga mengapa tak pernah dianggap sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan? Manusia banyak melakukan hal yang percuma dan selalu dalam pergulatan kebenaran menurut individu, tanpa memikirkan bagaimana perspektif lain orang. Benarmu belum tentu benarku, benarku belum tentu benarmu, dan manusia selalu memperdebatkan hal itu. Merasa benar dengan mempermasalahkan lain pihak dapat dikatakan sebagai kegagalan membaca diri dan lingkungan, dan kegagalan membaca diri serta lingkungan adalah satu bentuk dari kegagalan membaca Tuhan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline