Menilik sejarah pembentukan negara Indonesia, tentulah masih teringat bahwa negara ini kaya akan pemimpin-pemimpin yang sekaligus bergerak di tataran akademisi. Terhitung sejak proklamasi, kini Indonesia telah memasuki usia ke-66 tahun.Cukup tua untuk sebuah usia kemerdekaan.Tetapi bangsa ini seakan kehilangan hakekat kemerdekaan.Merdeka dalam artian kebebasan mengenyam pendidikan yang layak untuk masa depan.Pendidikan yang merupakan investasi menuju perubahan, menuju kesejahteraan.
Jika dibandingkan dengan negara Korea Selatan (Korsel) yang mendeklarasikan kemerdekaannya 3 tahun setelah Indonesia, tentu seharusnya Indonesia jauh lebih maju.Tetapi fakta menunjukkan bahwa Korsel kini sudah berkembang dari salah satu negara miskin di dunia hingga tercatat sebagai bangsa dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi tercepat sepanjang sejarah.Kesamaan yang tercatat sejarah antara kedua negara ini adalah sama-sama sempat dijajah Jepang.Bedanya mungkin pola pikir bangsa ini belum banyak mengadopsi Jepang ketimbang Korsel.
Pola pikir bangsa ini banyak dibentuk oleh sistem pendidikan yang makin lama semakin menjurus kearah industrialisasi generasi muda.Sistem yang disebut-sebut berbasis kompetensi pun digulirkan.Tujuannya tak lain adalah untuk mengakselerasi keberdayaan rakyat.Namun yang terjadi adalah sebaliknya.Pendidikan yang berkaca dari bangsa barat, yang notabene kaya akan fasilitas dan sarana serta merta menjadikan pendidikan semakin ekslusif.Pendidikan jadi semakin mahal.Akibatnya masyarakat semakin tersortir antara yang ‘layak’ sekolah dan yang ‘tidak layak’.Seleksi kelayakan ini otomatis terbentuk dari biaya sekolah dan nilai prestasi siswa.
Patut disayangkan betapa lingkungan semakin menekan generasi muda untuk bertindak atas dasar prestasi nilai.Logika ‘nilai tinggi sama dengan sukses’, semakin kuat didengungkan mulai dari guru, teman, media massa, bahkan orang tua.Beasiswa yang utamanya ditujukan pada siswa dengan masalah finansial malah seperti menambah beban baru.Siswa tidak mampu yang umumnya bekerja paruh waktu setelah jam sekolah dinilai hanya dari prestasi berupa angka tinggi di rapor.Atau justru karena kondisi finansial maka membuat pelajar tersebut kurang fokus selama di sekolah.Kepekaan sekolah untuk melihat kondisi demikian sangat jarang ditemui.Hingga yang miskin dan ‘bodoh’ karena bernilai rendah jadi seakan memang tidak layak untuk bersekolah. Standar kompetensi berdasarkan nilai berkuasa penuh atas masa depan siswa.
Peluang prestasi berdasarkan nilai itu pun semakin dilirik sebagai bidang yang cukup menguntungkan.Bimbingan belajar yang mulanya dibentuk hanya untuk membantu memudahkan proses pemahaman siswa dan partner dalam mengulang pelajaran, kini menjadi bisnis yang punya andil dalam mengaburkan makna pendidikan dan ilmu yang sesungguhnya.Sangat memprihatinkan ketika melihat siswa berbondong-bondong antusias mempelajari tips dan trik mudah lulus ujian saat mereka pun belum memahami pelajaran itu sendiri.
Titik permasalahan utama kembali pada sistem yang dibuat. Sistem yang dirancang tidak dibuat berdasarkan kebutuhan riil pelajar.Kurikulum yang memadatkan semua pelajaran menjadi wajib serta standar nilai Ujian Nasional yang menjadi momok mengerikan bagi siswa pun membutuhkan kajian yang lebih mendalam.Pemerintah tentunya memegang andil terbesar dalam kekacauan sistem ini sebagai pemegang kekuasaan.Pelajar tidak seharusnya takut menghadapi ujian jika memang sungguh-sungguh telah memahami pelajaran.Ujian pun hanya menjadi media pengulangan pelajaran.Sedangkan nilai berperan sebagai tolak ukur sejauh mana pemahaman itu dimiliki siswa.Tak hanya siswa,guru sebagai unsur yang berpengaruh dalam proses belajar juga perlu melakukan evaluasi metode pengajaran secara berkala.Sehingga pendekatan dalam proses belajar mengajar pun dapat terus mengalami perbaikan.
Peran orang tua sebagai pendamping anak juga tak kalah pentingnya dalam proses pendidikan.Orang tua yang cenderung menekan anak untuk belajar bisa mulai mengubah pendekatan.Mencoba berdiskusi dengan anak agar bisa sama-sama menentukan metode apa yang lebih disukai anak bisa menjadi metode pendekatan yang baik.Sangat penting bagi anak untuk bisa belajar dalam kondisi tenang dan didasari rasa suka.Selain itu, dengan cara ini anak akan lebih mudah mengetahui letak potensinya berdasarkan aktivitas dan pelajaran yang paling diminatinya.Supaya nantinya mereka tidak mengalami salah arah dan kehilangan tujuan justru di saat usianya matang.
Pilihan yang ada saat ini adalah mulai menerapkan sistem pendidikan yang bersumber pada kebutuhan riil pelajar.Kurikulum dibuat berdasarkan pengembangan minat siswa.Sehingga pengarahan minat sudah dimulai sejak usia muda.Nilai yang tinggi tidak lantas menentukan kesuksesan masa depan pelajar.Inti dari keberhasilan dan kesuksesan itu kembali pada karakter dan pemahaman tujuan hidup siswa.Sudah waktunya memodifikasi sistem yang mencetak generasi yang lemah.Generasi yang berputar-putar dalam ketidakberdayaan.Generasi berkarakter ambisius.Ambisius karena berjuang semata-mata demi nilai tinggi tanpa paham esensi ilmu yang dipelajarinya.
Sekolah seyogyanya kembali kepada filosofi awal.Sistem sekolah tidak boleh prematur pada segi konsep. Sekolah sebagai lembaga transfer ilmu yang melibatkan unsur pengajar dan yang diajar harus memiliki visi yang saling bersinergi. Baik bentuk formal maupun informal, sekolah memegang peranan penting dalam mematangkan karakter siswa.Sehingga sekolah tidak menjadi sekedar salah satu pabrik penyumbang kemiskinan.Melainkan inkubator kelahiran peradaban ummat yang berdayaguna. [RTA]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H