Bagian 5.
Air Mata Harapan
Aku segerapulang dan mengabarkan apa yang kualami pada Ibuku, namun ibuku biasa saja. Takada luapan emosi kegembiraan darinya. Mungkin kegembiraannya telah hilang ditelan oleh semua kepahitan hidupnya. Ataumungkin aku memang tak pernah diharapkan. Aku tidak mengerti, tapi tetapkuceritakan semua pada Ibuku termasuk tentang seseorang yang akan mengangkatkusebagai anak angkat. Ibu hanya diam dan aku tahu dia setuju dengan apa yang akulakukan. Dan setidaknya aku tak akan merasa kesal lagi kalau melihat ibubersama tamunya. Mungkin nanti setelah aku pergi, Ibu akan bisa sadari bahwaapa yang dilakukannya sesungguhnya salah. Aku berharap demikian, dan memang akuhanya bisa berharap. Aku akan selalu berdoa untuknya. Mudah-mudahan Tuhan masihmau memberikan jalan untuk Ibu. Satu kata yang diucapkannya padaku, entah itutulus atau tidak aku sendiri tidak tahu.
“ Hati-hati dijalan,Syan .…” Entahlah aku merasa tidak pernah diharapkan Ibuku. Mungkinkepergianku memberikan kebebasan untuknya. Entahlah, aku takut, bahkan takutsekali. Takut akan terjadi apa-apa dengan Ibuku. Meski aku tahu Ibu sepertitidak menyayangiku, tapi aku mencintainya. Bagaimanapun ia adalah Ibuku. ‘Tuhanjaga Ibuku,’ bisikku dalam hati. Kubulatkan tekadku untuk tidak menengok lagike belakang. ‘Ini demi masa depanmu, Syan’, ucapan kepala sekolah itu merasukkedalam hatiku. Dan kulangkahkan kakiku dengan pasti. Kuseka air mataku yangentah kenapa mengalir. ‘Kau tidak boleh cengeng, Syan’, ucap hatiku. ‘Teruslah melangkah.Orangtuamu takkan pernah peduli padamu’, bisik hatiku yang lain. Memang benar,sulit dipercaya, tapi aku merasa demikian. Bahkan saat aku pergi pun, takkulihat kesedihan dimata Ibuku. Apakah dia terlalu tegar atau memangperasaannya sudah hilang, aku tidak tahu. Oh Tuhan, betapa saat ini aku sangatmerindukan kelembutan hati. Kedamaian yang entah pada siapa akan kucari. Danaku sendiri sesungguhnya tak tahu apakah aku akan dapatkan ketenangan bathindengan menjadi anak angkat orang. Akankah di sana ada kedamaian, atau justrusebaliknya. Apa pun yang terjadi aku harus melangkah. Ya, aku harus langkahkankakiku. Banyak kemungkinan menanti di sana. Paling tidak aku tidak akanmembebani Ibuku lagi.
Dibutuhkan limajam dengan kendaraan umum untuk sampaike rumah orang tua angkatku. Dan selepas maghrib, aku baru sampai di depansebuah pagar tinggi sebuah rumah besar. Kupencet bel. Dan seseorang membukakanpintu. Aku memberikan surat yang dikirimkannya padaku dan tak berapa lama akudiminta untuk masuk. Rumah itu mempunyai halaman yang luas dan taman yangsepertinya terawat dengan baik. Dan saat melewati garasi, ada dua buahmobil yang masih tertutup dengan kain.Aku terus ke dalam dan orang itu mempertemukanku dengan seorang laki-laki.Laki-laki itu terlihat tinggi dan kurus,matanya cekung, dan tatapannya aneh. Aku tak bisa membaca raut wajahnya.Kira–kira usia laki-laki itu sudah lima puluhan.
“Nama kamu,Syan? “ katanya.
“Iya , eeh...Pak.…”
“Jawab yangtegas,” katanya.
“Kau harus lihatmata orang yang kau ajak bicara” , imbuhnya.
“Iya... Pak,”jawabku.
“Kamu Syan?” ulangnya.