Lihat ke Halaman Asli

Air Gayam: Kampung yang Hilang

Diperbarui: 4 September 2015   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah yang berada dibenak anda jika mendengar kata perkampungan ataupun kota yang hilang? Besar kemungkinan kita akan tertuju pada sesuatu yang bersifat gaib ataupun mistis, seperti Atlantis misalnya. Namun hal ini nyata terjadi di Air Gayam, yaitu nama sebuah perkampungan di Pulau Serasan, Provinsi Kepulauan Riau, yang juga merupakan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Tidak seperti Atlantis yang menurut mitosnya terjadi secara mendadak, Air Gayam hilang eksistensinya sebagai kampung yang berpenghuni secara berkala.

    Air Gayam, yang biasa disebut dengan Aek Goyom oleh penduduk lokal ini asalnya merupakan sebuah perkampungan. Namun secara berlahan kampung ini ditinggalkan oleh penduduknya sendiri. Jika kita lihat secara geografis, Air Gayam terbilang kampung yang strategis. Karena berada diantara dua aliran arung, sehingga suplai air akan terpenuhi meski musim kemarau. Selain itu, letak Air Gayam yang lansung berhadapan dengan hamparan Laut Cina Selatan seharusnya semakin membuat kampung ini eksis. Berbagai fasilitas juga pernah ada di Air Gayam, namun sekarang kita hanya dapat melihat sisa-sisa bangunannya saja seperti perumahan yang tidak terawat, mushola, maupun lapang volly.

     Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang menyebabkan Kampung Air Gayam ini semakin ditinggalkan oleh penghuninya? Paling tidak ada beberapa alasan penduduk secara berangsur meninggalkan Air Gayam.

    Akses jalan menuju perkampungan ini merupakan faktor utama mengapa Kampung Air Gayam ini ditinggalkan. Ketiadaan jalan raya menyebabkan akses perekonomian penduduk terhambat, meskipun kampung ini berbatasan dengan laut, namun penduduk tidak serta merta dapan memanfaatkan potensi yang ada karena kampung ini berada disebuah teluk. Sehingga jika menggunakan transportasi laut akan memakan waktu perjalanan yang panjang, selain faktor ketidakadaanya pelabuhan juga menjadi faktor yang utama. Jika terjadi air surut maka penduduk tidak akan dapat menuju kekampung lain dengan transportasi air.

    Selain akses jalan, tidak adanya bangunan Sekolah Dasar juga merupakan faktor yang cukup mempengaruhi bekurangnya penduduk kampung Air Gayam. Sebagian anak usia sekolah, terpaksa tidak mengenyam pendidikan karena letak wilayah yang cukup jauh, sekitar 5 KM dari kampung yang telah mempunyai gedung sekolah, yaitu Desa Air Nusa. Belum lagi medan yang harus ditempuh untuk ke sekolah terbilang sulit dan terjal. Oleh karena itu, penduduk yang memiliki kesadaran pendidikan yang tinggi, biasanya pindah ke desa. Sebagian pelajar SD bahkan akan tinggal ke rumah kerabat di desa agar dapat sekolah.

    Mengenai kehidupan manusia pasti tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang namanya mata pencarian. Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa Kampung Air Gayam ditinggal penduduknya. Pada era 90-an, kebanyakan penduduk Kampung Air Gayam bekerja sebagai penebang kayu. Setelah persedian kayu di hutan habis maka mereka terpaksa harus beralih profesi, kebanyakan penduduk Kampung Air Gayam beralih menjadi nelayan. Dikarenakan tidak adanya pelabuhan untuk menambat perahu, maka para penduduk tersebut lebih memilih untuk tinggal di desa lain, yang secara prasarana lebih memadai.

    Sekarang hanya ada dua kepala keluarga yang bertahan di Kampung Air Gayam. Itupun mereka hanya sesekali berada di Air Gayam. Keduanya berprofesi sebagai petani. Setelah selesai bercocok tanam biasanya mereka akan kembali ke desa.

    Air Gayam hanyalah salah satu contoh dari sebagian daerah yang ditinggalkan penduduknya karena terbatasnya prasarana. Terutama jalan penghubung antar desa. Masih banyak desa yang mengalami hal yang serupa dengan Kampung Air Gayam. Sekarang menjadi tugas pemerintah daerah untuk membangun akses jalan terhadap desa yang terisolir, agar pembangunan wilayah di Indonesia dapat merata.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline