Lihat ke Halaman Asli

Menentukan Pilihan [Edisi Copras Capres]

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama juga nggak nulis sejak beberapa kali komasiana mengalami koma dan hingga kini belum bisa senyum (emoticon nggak berfungsi). Sebenarnya masih males buat nulis, lebih suka haha hihi di grup chat dengan komasianer yang sudah jarang aktif. Namun ada "sesuatu" yang membuat saya nggak bisa ngempet lagi buat mengeluarkannya di jamban. Apalagi kalau bukan soal pilpres ini, klo biasanya hanya bisa nyimak kini memberanikan diri untuk nulis. Biarin yang muak dengan pilpres biar tambah mual mumpung 5 tahun sekali heuheuheu.

Sejak jauh-jauh hari saya sudah menetapkan pilihan siapa yang akan dipilih nanti (kalau bisa nyoblos). Hobi saya yang suka blusukan ke dunia maya khususnya twitter membuat saya tak menemui banyak kesulitan, kebingungan maupun kegalauan untuk menentukan siapa capres yang akan saya pilih nanti. Ya, karena memutuskan untuk mendukung salah satu capres apakah itu Pak Wiwi atau Pak Wowo lebih mudah bagi saya daripada memutuskan untuk menghadiri undangan pernikahan mantan atau tidak. Dukungan saya terhadap salah satu capres sebut saja Pak Wiwi awalnya hanya berupa dukungan pasif yang sudah munkin sudah diketahui banyak orang *sok ngartis, mulai dari komen, like maupun retweet. Di sini saya tak akan menjelaskan kenapa saya memutuskan untuk mendukung Pak Wiwi daripada Pak Wowo karena alasannya udah terlalu mainstream. Sama mainstreamnya dengan alasan saya yang akhirnya memutuskan untuk tidak datang ke pernikahan mantan. Terlalu mainstream yang sungguh.,.,sungguh T.E.R.L.A.L.U.

Saya jarang sekali nulis, nyetatus sendiri tentang Pak Wiwi seperti Pak Gunawan maupun Mbak Arimbi Bimoseno di FB *salim*. Namun semua berubah setelah negara api menyerang kejadian yang saya temui di suatu hari. Begini ceritanya, satu pagi temen chat curhat tentang isu kalau Pak Wiwi jadi presiden maka tunjangan sertifikasi guru akan dihapuskan demi pengiritan. Sebagai pendukung Pak Wiwi saya mencari kebenaran isu tersebut. Setelah blusukan ke rumahnya mbah google,nggak ada visi misi Pak Wiwi yang menyebutkan demikian. Saya mendapati klo isu penghapusan sertifikasi sudah ada jauh sebelum pilpres maupun pileg (tanpa ada nama Pak Wiwi di situ). Saya juga mendapatkan sebuah link berita yang membuat saya ngakak tentang sertifikasi guru ini. Namun saya nggak akan menyebutkannya di sini.

Nah siang harinya waktu ngapel ke rumah Mbok Wedok, dia juga cerita kalau teman-teman guru di sekolah dapet sms berantai yang isinya seperti yang dikeluhkan teman pagi harinya ditambah isu sara tentang Pak Wiwi. Dan kebanyakan mereka percaya itu. Sore harinya teman di chat ada lagi yang galau karena isu itu. Lagi-lagi saya harus bergumam "wah nggak bener ini". Setelah dipikir-pikir dan merenung namun tak sampai 3 hari 3 malam, saya memutuskan untuk lebih aktif mendukung Pak Wiwi dengan strategi defensif sesekali melakukan counter attack. Seperti syair lagu dangdut "terlanjur basah ya sudah mandi junub sekalian", mulai saat itu saya bikin woro-woro di FB bahwa saya akan mulai aktif mendukung Pak Wiwi. Sebuah woro-woro yang nggak penting namun cukup bikin mual dan mengotori TL para anti capres dan peluang disetip dari daftar pertemanan terbuka lebar. heuheuheu.

Saya akui memang ada beberapa orang yang sangat militan dalam mendukung Pak Wiwi maupun Pak Wowo di dunia maya hingga membuat orang lain jengah khususnya orang-orang "netral". Apalagi jika hal tersebut tak berdasarkan fakta-fakta yang ada seperti sms berantai tadi. Banyak yang mengatakan "mendukung capres itu sia-sia buang-buang waktu tenaga, toh pada akhirnya sama saja". Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tak ada yang sia-sia di dunia ini, bahkan kentut yang baupun berguna untuk mengusir orang pacaran yang bikin kita ngiler. Mendukung capres adalah perwujudan harapan masyarakat terhadap negeri ini meski banyak yang mengatakan itu hanya fatamorgana. Mengutip kata Mbah Tejo "Kita sanggup tahan seminggu, tanpa makan minum, tapi tak sanggup kita hidup meski cuma sedetik tanpa harapan". Salahkah kita memiliki harapan? tidak. Harapan masyarakat yang mendukung Pak Wowo maupun Pak Wiwi sama, untuk kemajuan Indonesia hanya jalannya saja yang berbeda. Kalau ternyata yang kita dukung tak sesuai harapan ya kita kritik aja. Kritik itu sangat perlu, kalau ternyata masih tidak sesuai harapan periode berikutnya jangan dipilih. Itulah kenapa saya memilih calon yang kira-kira bisa dikritik tanpa takut terkena lemparan HP *eh.

Mendukung salah satu capres adalah tindakan bodoh? belum tentu. Banyak orang pintar dan bijak yang terlibat di dalamnya. Saya berusaha untuk jadi pendukung yang agak mikir meski  IQ saya agak anu. Yang harus disadari Pak Wiwi bukanlah sosok tanpa cela hingga perlu juga dikritik, begitu juga dengan pendukungnya. Beberapa yang saya kritik antara lain soal pidato waktu pengambilan nomor urut kemarin yang dianggap kurang etis, Pak Wiwi yang mulai terpancing menyindir-nyindir kubu Pak Wowo dsb. Saya juga tak setuju dengan pernyataan salah seorang kader PDIP untuk mengawasi/merekam khotbah jumat, meski pada kenyataannya banyak sekali laporan yang megatakan bahwa khotbah jumat dijadikan ajang untuk menyerang Pak Wiwi. Hal itu sudah pernah terjadi waktu pilkada DKI, toh tak banyak berpengaruh. Klo kritik terhadap Pak Wowo rasanya nggak perlu disebutkan di sini biar pendukungnya yang ngritik. Klo saya yang ngritik bisa sangat panjang, sepanjang jarak ke rumah mantan.

Apakah "netral"/golput adalah pilihan terbaik? belum tentu. Seperti pesan bapak saya "kalau di jalan menurun jangan posisikan pada netral, bisa berbahaya". Hubungannya apa dengan Pilpres? nggak ada, wong itu nasehat klo naik motor.  Saya memakai tanda petik pada kata netral karena menurut saya tak ada yang benar-benar netral, manusia cenderung memihak. Bahkan saat menonton Tom & Jerrypun saya masih memihak, kadang pada Tom kadang pada Jerry. "Netral"  pada dasarnya ada tiga yang pertama "netral" yang bijak, yang kedua "netral" yang nglunjak, yang ketiga "netral" nama band. "Netral" yang bijak melihat situasi dari dua sisi, adem ayem tak mencaci. "Netral" yang nglunjak itu nggak memihak siapa-siapa tapi komentarnya selalu menyudutkan salah satu calon, atau malah mencaci kedua-duanya. Jika alasan seseorang untuk "netral" adalah karena muak dengan aksi saling serang kedua pendukung capres kenapa jadi ikut nyerang kedua-duanya? terus bedanya mereka dengan para pendukung Pak Wiwi dan Pak Wowo apa? heuheuheu.

Dengan nada sok bijak, ijinkanlah saya berpesan. Mari dukunglah sewajarnya, jikalau mau gontok-gontokan lakukanlah dengan cara yang elegan, misalnya dengan gaya Mpok Minah tetangganya Bajuri "maaf saya mau nyerang capresmu, dan maaf mungkin agak pedas sedikit, maaf jangan marah ya, maaf cuma level 10 kok". Woles aja, mendukung capres masih bisa dengan haha hihi kok, misalnya Kong Arke yang mendukung pak Wowo. Meski berseberangan, di fb kami masih bisa komen-komenan saru. Percaya atau tidak, saru lebih cepat menular daripada sara. heuheuheu

Dan yang terakhir, Mendukung salah satu capres adalah pilihan, nggak suka dengan capres lain adalah pilihan, dan "netral" juga merupakan pilihan. Saling menghormati ajalah. Memang susah menghormati pilihan orang terutama pilihan mantan. Namun harus tetap diterima karena itu kenyataan.

Salam Dua Jari [caption id="" align="aligncenter" width="303" caption="Satu itu sendiri, Dua adalah kita. Aku di sini berdiri melihat kau dengannya. #eaaaa"][/caption]

Twitter : @siitokk

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline