Suara burung Kedasih sudah pergi, matahari terus merambat ke arah Barat.
Di ruang tamu, Ki Lurah Manggolo Krasak duduk melamun. Pikirannya masih tertuju kepada putrinya semata wayangnya.
"Sampaikan kapan keadaanmu seperti itu? Bapak sudah tidak tega mendengar ratap tangis kesakitan mu," batinnya Ki Lurah Manggolo Krasak bertambah kalut. Dia bersandar di sofa ruang tamu. Karena gelisah sofa empuk itu terasa penuh paku, membuat duduknya tidak tenang.
"Permisi Ki Lurah Manggolo Krasak, Ki Masto datang menghadap," suara Ki Masto muncul memutus lamunannya.
"Ooh, Ki Masto, ayo duduk," sambut Ki Lurah Manggolo Krasak ramah mempersilahkan duduk. Lamunannya hilang, kembali ke alam nyata.
Ki Masto datang tidak sendiri, ada tiga orang yang datang bersamanya. Dua dia kenali, hanya satu yang asing baginya. Pemuda tampan tinggi besar yang tersenyum ramah kepadanya. Ada kharisma kuat terpancar dari sepasang mata bening dan bersorot tajam.
Setelah duduk dengan baik, Ki Masto membuka percakapan.
"Maaf, Ki Lurah Manggolo Krasak, saya datang tanpa pemberitahuan. Perkenalkan ini, Galih Sukma, yang mampir ke warung," jelas Ki Masto singkat.
Sekali lagi Ki Lurah Manggolo Krasak memandang dan meneliti lebih jelas Galih Sukma, dengan ramah dia menerima uluran tangan perkenalan dari Galih Sukma yang berdiri sebentar kemudian bersalaman dengannya. Genggaman tangan anak muda itu terasa mantap dan penuh percaya diri.
"Galih Sukma, salam hormat Ki Lurah Manggolo Krasak," kata Galih Sukma lembut.