Lihat ke Halaman Asli

Jafran Azzaki

Senang Menulis

Mungkinkah Peta Koalisi Berubah?

Diperbarui: 23 Desember 2022   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga pentolan partai Koalisi Indonesia Bersatu (KIB): Zulkifli Hasan (PAN), Airlangga Hartarto (Golkar) dan M.Mardiono (PPP). (Foto: Kompas.com).

TAHAPAN Pemilu 2024 memasuki fase di mana partai-partai fokus dalam mempersiapkan kader-kader terbaiknya pada berbagai tingkatan. Di sisi lain, parpol juga intens menjalin komunikasi dalam upaya berkoalisi. Seputar koalisi, banyak pertanyaan mengemuka terkait apakah koalisi yang sudah terbentuk saat ini akan permanen hingga ke saat Pemilu atau Pilpres 2024 berlangsung? Atau, jangan-jangan pecah di tengah perjalanan.

Memetik pelajaran dari dua pemilu terakhir, yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, terbentuk poros atau koalisi antara partai pendukung pemerintah dan di luar pemerintah--yang kala itu populer dengan sebutan opisisi. Sinergi yang terjadi kala itu didasari keinginan adanya pemilu yang mengedepankan check and balances, oleh karena itulah terjadi penggabungan.

Pada 2014, ada pemerintahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), terdiri dari PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI, dan oposisi koalisi Merah Putih (KMP), terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP dan PBB. Merujuk dari catatan, ada harapan besar dari masyarakat terjadinya check and balances sehingga pemerintah yang minoritas di kontrol oleh oposisi yang besar.

Bagaimana kenyataannya? Catatan menunjukkan, harapan itu sirna seiring dengan bergabungnya Golkar, PAN, dan PPP kedalam pemerintahan, sehingga oposisi tidak lagi berdaya, karena hanya meninggalkan Gerindra dan PKS.

Pada 2019, kejadian berulang. Kita ketahui, Pilpres 2019 melahirkan 2 koalisi. Yakni, pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI, Golkar, PPP, Perindo, PSI), dan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang bernama Koalisi Indonesia adil dan Makmur (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat).

Kita ketahui kemudian Gerindra dan PAN masuk dalam pemerintahan, meninggalkan Demokrat dan PKS yang setia berada di luar jalur pemerintahan.

Menuju 2024, seperti kerap dipaparkan, kemungkinan besar minimal akan ada 2 poros atau koalisi dan maksimal empat. Pertama, poros atau Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN, dan PPP (25,87 persen kursi DPR), lalu Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang berisikan Gerindra dan PKB (23,25 persen kursi DPR).

Kemudian, kemungkinan adalah Koalisi Perubahan (KP) yang diinisasi NasDem, PKS, dan Demokrat (28,50 persen kursi DPR). Terakhir, keempat, poros PDI Perjuangan, pemenang Pemilu 2019 dan menjadi satu-satunya partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres tanpa berkoalisi dengan partai lain dengan persentase perolehan kursi 22, 38 persen kursi DPR.

Kita pahami bahwa poros atau koalisi-koalisi di atas bisa saja mengerucut menjadi tiga poros atau bahkan dua koalisi, tergantung kesepakatan dan kalkulasi politik dari masing-masing parpol.

Konstitusi mengatur esensi dari pelaksanaan pemilu sebagai sarana pemenuhan perwujudan kedaulatan rakyat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Keberadaan poros atau koalisi menjadi salah satu cara untuk mendapatkan kemenangan. Dalam konteks ini, memang sulit dihindari kemungkinan adanya praktik jegal menjegal, karena politik sangat dinamis. Tarik menarik di antara koalisi dan partai-partai masih sangat kuat.

Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR) masih terus berupaya menarik partai-partai lain sebagai anggota, termasuk partai yang berpotensi membentuk koalisi sendiri seperti Demokrat dan PKS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline