Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, PDIP diwarnai oleh persaingan yang meningkat antara dua faksi utama, yaitu faksi yang dipimpin oleh Puan Maharani dan faksi yang didukung oleh Prananda Prabowo. Puan Maharani, yang merupakan Ketua DPR RI sekaligus putri Megawati Soekarnoputri, telah lama dianggap sebagai penerus alami kepemimpinan PDIP. Sebagai anggota kunci dari trah politik Soekarno, Puan memiliki legitimasi historis yang kuat dalam partai, serta dukungan dari kalangan senior dan elite partai. Di sisi lain, Prananda Prabowo, putra Megawati yang menjabat sebagai Ketua Bidang Ekonomi Kreatif dan Ekonomi Digital DPP PDIP dan juga Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi (Situation Room) DPP PDI Perjuangan, cenderung beroperasi di balik layar, tetapi memiliki pengaruh besar dalam hal strategi dan kampanye partai (Detik, 2024). Prananda dianggap mewakili kelompok progresif dan lebih modern di dalam PDIP, yang ingin melihat partai bergerak ke arah yang lebih dinamis dan terhubung dengan pemilih muda. Konflik kepentingan kedua faksi ini merupakan konflik yang sudah ada sejak lama. Konflik ini kembali muncul ke permukaan setelah isu Megawati akan pensiun dari kursi Ketua Umum PDIP. Dari hal tersebut, nama Puan dan Prananda jelas menjadi urutan teratas untuk menggantikan posisi sang Ibu. Percikan konflik keduanya mulai terlihat oleh publik pasca Megawati memutuskan untuk menunjuk Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP untuk Pilpres 2024 lalu (Alinea.Id, 2021). Hal tersebut tidak terlalu mengejutkan mengingat elektabilitas Ganjar Pranowo juga cukup tinggi kala itu.
Topik ini pada akhirnya dipilih karena banyak sekali hal menarik yang dapat dikaji. Sebagai gambaran, PDIP pasca-reformasi bertransformasi menjadi sebuah kekuatan politik besar di bawah kepemimpinan Megawati. Mereka berhasil keluar sebagai kampiun Pemilu selama tiga periode berturut-turut, yakni; Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pemilu 2024. Namun, dalam konteks Pemilu 2024, PDIP dihadapkan dengan segudang permasalahan tanpa terkecuali permasalahan internal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Perpecahan kedua faksi tersebut dalam gelaran Pemilu 2024, berpengaruh pada hasil akhir yang didapat oleh PDIP. Mereka memang masih merajai panggung legislatif dengan perolehan suara 16,72% di nasional (Kompas.com, 2024). Namun, hasil tersebut justru berbanding terbalik dengan perolehan suara untuk Pilpres yang mana mereka kalah telak dan harus puas berada di urutan juru kunci dengan perolehan suara 16,47% (Kompas.com, 2024). Dari hasil tersebut, bahasan ini kian menarik karena kita akan menjelajahi lebih dalam mengenai seberapa berpengaruh konflik antar faksi dalam internal PDIP dan bagaimana manajemen politik yang baik dapat diterapkan guna meredam konflik berkepanjangan yang berdampak tidak baik pada keberlangsungan partai.
Ada dua teori yang digunakan untuk mengkaji lebih dalam terkait permasalahan ini, yaitu teori faksi dan teori kelompok kepentingan (interest group theory). Teori faksi Belloni dan Beller memberikan kerangka yang kaya untuk memahami persaingan antara faksi Puan Maharani dan Prananda Prabowo bukan sekadar konflik personal, melainkan cerminan dari dinamika kekuasaan yang lebih luas dalam partai. Sedang, teori kelompok kepentingan yang dikemukakan Surbakti memberikan kerangka untuk memahami bagaimana faksi-faksi dalam partai politik, seperti faksi Puan dan Prananda, berfungsi sebagai kelompok kepentingan internal yang berupaya mempengaruhi arah dan keputusan partai. Setiap faksi memiliki basis dukungan, agenda politik, dan strategi masing-masing, yang semuanya berkontribusi pada pembentukan keseimbangan kekuasaan dalam partai.
Frank P. Belloni dan Dennis C. Beller dalam karya mereka "Faction Politics: Political Parties and Factionalism in Comparative Perspective" (1978) mendefinisikan faksi sebagai kelompok yang relatif terorganisir dalam partai politik yang bersaing dengan kelompok lain untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya dalam partai. Mereka mengidentifikasi beberapa karakteristik kunci faksi, yaitu: kohesivitas internal, pola kepemimpinan yang jelas, tujuan dan strategi yang berbeda dari faksi lain, dan kompetisi untuk sumber daya dan posisi dalam partai. Faksi-faksi dalam sebuah partai politik seringkali terbentuk ketika terdapat perbedaan visi atau kepentingan di antara kelompok-kelompok tertentu. Faksi tersebut kemudian berkembang menjadi organisasi di dalam organisasi, dengan tujuan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar atas keputusan-keputusan partai. Ramlan Surbakti, dalam bukunya "Memahami Ilmu Politik" (1992), mendefinisikan kelompok kepentingan sebagai sekelompok orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, kepercayaan, dan/atau tujuan, yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan mereka. Artinya, interest group theory menjelaskan bagaimana kelompok dengan kepentingan tertentu, baik di dalam maupun di luar partai politik, berusaha mempengaruhi kebijakan dan keputusan untuk memajukan agenda mereka (Thomas, 2024).
Isi dan Pembahasan
Seperti yang sudah disinggung sejak awal, menjelang Pemilu 2024 berhembus angin tidak mengenakkan dari internal PDIP. Semua berawal dari retaknya hubungan antara Jokowi dan PDIP hingga penunjukkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP. Perlu diingat di dalam internal PDIP sendiri terdapat dua faksi besar yang belakangan sedang berebut pengaruh untuk dapat menjadi nomor satu di dalam partai. Kemunculan tersebut juga beriringan dengan pernyataan Megawati kala itu yang akan memutuskan pensiun dalam perpolitikan. Faksi Puan Maharani muncul sebagai kekuatan besar yang didukung oleh sebagian besar elite partai karena memang secara pengalaman, Puan sudah lebih dahulu melanglang buana di panggung politik Indonesia dibandingkan dengan Prananda. Faksi Puan juga dikenal publik sebagai kelompok yang dengan Jokowi sebelum dan setelah renggang dengan PDIP.
Akan tetapi, kekuatan politik dari faksi Prananda juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Pribadinya yang progresif membuatnya mendapat julukan sebagai "kamus berjalannya Soekarno" (CNN Indonesia, 2023). Selain itu, jika Puan mampu mengkonsolidasikan elite partai, Prananda sendiri dinilai mampu untuk mengkonsolidasikan akar rumput. Ini terbukti ketika banyak kader PDIP yang mendorong Ganjar Pranowo untuk menjadi Capres dibandingkan dengan Puan (Alinea.Id, 2021). Gerakan tersebut disinyalir merupakan hasil dari pengondisian akar rumput oleh faksi dari Prananda. Asumsi ini diperkuat dengan bukti pasca-penunjukkan Ganjar sebagai Capres disertai dengan penunjukkan Prananda untuk monitoring terhadap dinamika politik nasional bagaimana konsolidasi partai dijalankan pemenangan untuk Pemilu 2024 (CNN Indonesia, 2023). Tindakan dari faksi Prananda ini cukup rasional mengingat elektabilitas Ganjar saat itu jauh di atas Puan. Lebih jauh dari itu, apabila pada akhirnya Ganjar dapat memenangkan Pilpres 2024, jelas menjadi sebuah keuntungan besar bagi Prananda dan gerbong politiknya untuk dapat mengkooptasi PDIP pasca-lengsernya Megawati nanti. Sementara dari faksi Puan, mereka pada akhirnya tetap profesional dengan keputusan yang dikeluarkan ketua umum dan tetap mendukung pencalonan tersebut (Alinea.Id, 2024).
Teori faksi yang dikembangkan oleh Frank P. Belloni dan Dennis C. Beller menjelaskan bahwa faksi dalam partai politik sering kali terbentuk berdasarkan perbedaan pandangan, strategi, dan tujuan dari individu atau kelompok di dalamnya. Dalam kasus PDIP, faksi Prananda dan Puan menunjukkan perbedaan strategis yang mencolok. Faksi Prananda berfokus pada daya tarik elektoral Ganjar sebagai calon yang memiliki dukungan kuat di akar rumput dan basis pemilih PDIP yang lebih luas. Ganjar dinilai memiliki potensi besar untuk memenangkan pemilu dan memperkuat posisi PDIP dalam lanskap politik nasional (Alinea.Id, 2021). Dalam perspektif Belloni dan Beller, ini menunjukkan bahwa faksi Prananda berusaha meraih kekuasaan melalui pengaruh elektoral dan mengonsolidasikan dukungan dari basis pemilih partai. Di sisi lain, faksi Puan Maharani mewakili kelompok yang lebih terstruktur dan mapan di dalam PDIP. Puan, sebagai tokoh yang telah lama berkiprah di dunia politik, memiliki keunggulan dalam hal pengalaman dan jaringan politik yang kuat, terutama di level elite. Dengan memenangkan dukungan dari sebagian besar petinggi partai dan mendapatkan posisi strategis sebagai Ketua DPR RI, faksi Puan berusaha mengamankan kontrol terhadap sumber daya politik PDIP. Ini sesuai dengan teori faksi yang menekankan bahwa faksi internal sering kali berfokus pada penguasaan struktur dan akses terhadap sumber daya politik.
Pasca Pemilu, di luar dugaan PDIP meraih hasil yang kurang sempurna dalam gelaran Pemilu kali ini. Dalam pertarungan legislatif mereka mengalami penurunan suara, sedang dalam pertarungan eksekutif mereka kalah telak dengan menjadi juru kunci. Faksi Prananda gagal menyukseskan Ganjar untuk keluar jadi pemenang, dan otomatis kesempatan untuk memperkuat posisinya sebagai kandidat kuat pengganti Megawati cukup tercoreng. Sementara, Puan Maharani dan gerbong politiknya masih berhasil mempertahankan kemenangan legislatif PDIP dan belakangan Puan juga kembali dilantik menjadi Ketua DPR RI periode 2024-2029. Hal tersebut membuat namanya semakin kokoh dalam bursa pengganti Megawati sebagai Ketua Umum periode selanjutnya. Hal ini diperkuat dengan Megawati yang memberikan sinyal.
Secara teori faksi, kegagalan ini mencerminkan ketidakmampuan faksi Prananda untuk mengonsolidasikan pengaruhnya secara efektif di dalam partai maupun di ranah nasional. Elektabilitas Ganjar yang tinggi tidak cukup untuk mengatasi tantangan politik internal, terutama dari faksi Puan yang lebih terstruktur dan memiliki dukungan elite partai. Sebaliknya, faksi Puan Maharani justru semakin mengukuhkan kekuatannya pasca-Pemilu 2024. Meskipun PDIP mengalami penurunan suara dalam pemilihan legislatif, Puan dan faksinya berhasil mempertahankan kendali atas parlemen dengan kemenangannya sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Ini menunjukkan bahwa faksi Puan lebih sukses dalam mempertahankan pengaruhnya di institusi-institusi formal partai, terutama dalam hal legislatif. Berdasarkan teori faksi, faksi Puan mampu mengonsolidasikan dukungan internal dan mengamankan posisinya melalui penguasaan lembaga-lembaga formal dan jaringan politik yang luas.