[caption id="attachment_276257" align="aligncenter" width="393" caption="Pantai Myrtos, Greek (Sumber: Google Maps)"][/caption] "Nama saya Aileen. Aileen Timothy. Timothy nama ayah saya." Ini potongan perkenalanku dalam Bahasa Indonesia kali pertama menjejakkan kaki di daerah bekas konflik ini. Saya diajari oleh Lian, Arlian, perempuan pegiat kemanusiaan yang bekerja tidak kenal lelah pasca daerahnya diamuk konflik yang mengharubiru itu. Selanjutnya, dengan bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Lian, saya berbicara di hadapan puluhan perempuan paruh baya yang penuh semangat wajahnya. Mereka adalah korban konflik atas nama agama yang meruntuhkan bangunan kepercayaan dan keyakinan diri mereka. Ada pula anak-anak di sana. Ada pula perempuan-perempuan muda yang usianya mungkin tidak jauh dari saya. Mereka juga adalah korban konflik. Mereka menjadi korban perundungan seksual paksa dan sukarela selama konflik berlangsung. Aparat keamanan menjadi pelaku utamanya. Dan ketika konflik usai, mereka ditinggalkan. Ada yang telah berbadan dua, dan ada pula yang sudah melahirkan anak. Tentu saja tanpa bapak, karena pergantian pasukan paling lama ketika itu enam bulan sekali. Petang yang temaram, mengakhiri perkenalan saya. Mata saya lalu tertumbuk pada biru laut dan buih-buih putih setelah ombak menghantam karang di tepi pantai kota kecil yang sebenarnya sangat indah itu. Sayang, konflik menghancurkannya seketika. Kali pertama saya membaca ihwal kota ini dari laporan di sejumlah surat kabar Amerika. Sejumlah lembaga hak azasi Internasional juga mengeluarkan laporan serupa. Saya kerap membaca laporan-laporan yang ditulis Lorraine Aragon, pengajar di Departemen Antropologi, University of North Carolina yang saya ikuti kelasnya. Saya bergidik ketika membaca tulisannya, soal dulu manusia yang memakan ikan, namun kini, ikan yang memakan manusia, karena banyak mayat terapung, terbawa ke muara melewati sungai besar di kota itu. Karenanya, makanan yang saya hindari ketika saya tiba adalah ikan. Susah rasanya, karena saya terlahir dan besar di Assos, di Kefalonia, Yunani, 25 tahun lalu. Saya kerap membayangkan kota ini persis tanah kelahiranku. Saya membayangkan pantainya tidak jauh beda dengan Pantai Myrthos dengan kerikil putih menutup pantai. Sungguh sayang, kota ini diamuk huru-hara. *** "Aileen..." Suara anak kecil memanggilku. Owh rupanya Cattleya. Ini teman kecilku. Anak Arlian. Ia suka berbahasa Inggris denganku, padahal ia baru saja duduk di Sekolah Dasar. Dari ibunya ia belajar. Dialah juga yang mendorongku bisa belajar Bahasa Indonesia lebih giat. Sekarang, lumayanlah. Saya bisa betah berlama-lama bicara dengan para perempuan itu. Dalam Bahasa Indonesia yang terbata-bata namun tentu bisa mereka mengerti. Rupanya Cattleya memanggilku untuk memperlihatkan asal namanya. Ya, Anggrek Katelia. Warnanya ada yang putih juga merah jambu. Indah. Seindah pemilik nama itu. Teman kecilku. *** "This is nose. This is mouth. This is teeth..." Petang ini saya mengajarjan anak-anak dan para perempuan paruh baya itu belajar berbahasa Inggris. Dulu sebelum konflik mendera mereka, tempat mereka menjadi salah satu destinasi wisata di Indonesia. Banyak pelancong asing datang ke sini. Ini petang pekan keempat saya bekerja untuk perempuan dan anak-anak korban konflik di lembaga sosial yang dibangun Arlian. Perempuan tegar itu, punya banyak mimpi yang terus diwujudkannya. Bermula dari membangun sekolah perempuan, lalu perpustakaan anak-anak sampai mengajarkan para perempuan berkebun organik. Sebab lembah di mana kota ini adalah tanah subur yang menunggu dijamah. Saat ini, Lian, begitu biasa Arlian disapa oleh sejawatnya, merintis perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Inggris untuk anak-anak. Ia juga punya perpustakaan keliling yang melayani anak-anak dan warga di pesisir danau. Perpustakaan perahu. Begitu Cattleya menyebutnya. Saya menjadi sukarelawan, saat membaca sejumlah kicauannya di twitter dan situs web tentang sejumlah kegiatan yang tengah dirintisnya. Dan kini saya di sini. Di tempat yang saya kerap bayangkan pantainya tidak jauh beda dengan Pantai Myrthos, di tanah kelahiranku, dengan kerikil putih menutup pantai. Sungguh sayang, kota ini pernah diamuk huru-hara. Beruntung kota ini punya Lian, perempuan tegar yang tak kenal lelah membangun harapan para perempuan korban konlik itu. Saya di sini sekarang. Di tepi pantai yang saya bayangkan seperti Pantai Myrthos. Di tempat yang saya bayangkan bisa mewakili ruang alam pikir dan hatiku membangun ingatan akan banyak hal yang sudah terjadi di hidupku. Saya membayangkan berada di tepian Pantai Myrthos membangun ingatan ketika badai meluluhlantakan sebagian kota kecilku. Membawa pergi kehidupan masa kecilku. Membawa pergi kedua orang tua dan kakakku. Saya di sini sekarang. Di tepi pantai yang saya bayangkan seperti Pantai Myrthos. Saya sedang membangun kenangan.*** Palu, 3 September 2013, pada ingatan atas kegigigan Lian Gogali, penggiat kemanusiaan di Tentena, Pamona, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah membangun harapan para perempuan korban konflik Poso.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H