Lihat ke Halaman Asli

Mobil Listrik "Yes", Energi Terbarukan "Not Yet"

Diperbarui: 5 September 2019   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Needpix.com

Transisi ke mobil listrik yang digulirkan pemerintah tentunya merupakan angin segar yang dapat membawa perubahan terhadap kondisi polusi udara yang semakin parah terutamanya di kota-kota besar di Indonesia. Dengan zero emission yang ditawarkan mobil listrik tentunya akan mengurangi emisi karbon dioksida secara signifikan.

Sayangnya, sampai saat ini mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Menurut data terbaru dari Dirjen ketenagalistrikan kementerian energi dan sumber daya mineral, pembangkit listrik berbasis energi terbarukan masih menjadi minoritas dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara maju yang sudah beralih ke energi terbarukan. Menurut data dari international renewable energy agency (IRENA), China sudah memiliki kapasitas daya terpasang berbasis energi terbarukan sebesar 700.000 MW disusul oleh AS dengan kapasitas 250.000 MW. Indonesia sayangnya hanya memiliki kapasitas daya terpasang berbasis energi terbarukan sebesar kurang lebih 8.000 MW.

Langkah negara-negara maju untuk beralih ke mobil listrik tentunya disertai dengan transisi ke energi terbarukan. Tapi, Indonesia seakan terlihat tertarik untuk segera beralih ke mobil listrik tanpa dibarengi dengan transisi ke energi terbarukan.

Hal ini sama saja dengan memindahkan polusi dari perkotaan ke lokasi pembangkit listrik sehingga akan menguntukan masyarakat yang tinggal di tengah kota tapi akan merugikan masyarakat yang tinggal dekat dengan lokasi pembangkit listrik.

Hal ini dapat dipastikan karena energi listrik yang diperlukan oleh mobil listrik tentunya akan menambah beban yang harus dipikul oleh PLN secara signifikan dan peningkatan kapasitas pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil tentunya akan meningkatkan emisi karbon dioksida.

Baru-baru ini sejumlah aktivis melakukan aksi berbaring di kawasan Monas untuk menolak penggunaan energi fosil termasuk batu bara dan mengajak untuk beralih ke energi terbarukan. Hal ini begitu penting dengan melihat dampak buruk polusi udara yang ditimbulkan oleh PLTU batu bara terhadap kesehatan manusia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat mempertanyakan menteri ESDM dan PLN terkait lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Dirjen energi baru terbarukan dan konservasi energi kementerian ESDM FX Sutijastoto kemudian memberikan tanggapan bahwa Indonesia sudah terbiasa dimanjakan dengan subsidi BBM yang membuat masyarakat bergantung terhadap energi listrik murah sementara transisi ke energi terbarukan membutuhkan investasi dengan biaya yang besar.

Tentunya tarif listrik Indonesia memang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tarif energi listrik di negara maju. Tapi, tentunya penentuan tarif listrik disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat. Disinilah ketepatan pengambilan keputusan diperlukan oleh pemerintah untuk memastikan transisi ke energi terbarukan mendapatkan dukungan finansial yang bisa mempercepat proses transisi tsb.

Tentunya investasi di bidang energi terbarukan membutuhkan dana yang tidak kecil dan batu bara masih menjadi pilihan utama dikarenakan oleh harga yang murah. Selain itu, telah diperkirakan bahwa batu bara masih bisa diproduksi sampai tahun 2100 dengan melihat cadangan batu bara Indonesia yang masih mencapai 39.8 Miliar Ton.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline