Meski tinggal jauh dari ingar bingar ibukota, antusias anak-anak muda Kabupaten Kayong Utara layak diapresiasi. Dikepung barisan bukit Mendaling, atmosfer penuh semangat menjalari siapapun yang menyaksikan.
Rabu sore lalu (7/9), senja siap berpamit pulang. Semburat mega menyusup hangat di antara bukit Mendaling yang basah oleh gerimis. Hujan yang akhirnya turun sore itu, tak halangi 450 siswa-siswi sekolah menengah yang didaulat untuk menyemarakkan gelaran bahari Sail Karimata 2016 di Provinsi Kalimantan Barat, yang siap tampilkan tari kolosal Oktober mendatang.
Terus terang saya tak menyangka, gerakan lincah layaknya penari profesional, terpancar penuh antusias dari ekspresi anak-anak muda yang tinggal di kota tertua di Kalimantan Barat ini.
Maklum, sebagai salah satu produk jawasentris, saya telanjur ditelan pandangan terhadap kapasitas anak-anak muda di Kalimantan. Mohon dimaafkan. Namun, melalui perjalanan kali ini, saya justru banyak belajar dari mereka, terutama spirit keberagaman dan nasionalisme.
Empat ratus lima puluh siswa-siswi sekolah menengah ini berpadu jadi satu di tengah keragaman etnis, -baik melayu, dayak, jawa hingga tionghoa,- untuk menampilkan karya terbaik di ajang nasional yang dikomando oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Sejak pukul tiga sore, siswa-siswi Kayong Utara berkumpul di lapangan Dinas pendidikan, siap berlatih tari kolosal untuk kegiatan puncak, Sail Karimata 2016. Di kecamatan Sukadana, sekolah yang turut berpartisipasi di antaranya SMPN I, SMAN I, SMKN I serta sejumlah sekolah lain dari Simpang Hilir.
"Saya senang sekali kak, kesempatan satu kali seumur hidup," ungkap Taufik Nanda Pratama (17), salah satu siswa SMAN I Sukadana yang berkesempatan menampilkan tari kolosal bertema hutan lestari.
Wajah sumringah saat berlatih tampak terpancar, di tengah masyarakat sekitar yang berkerumun menyaksikan latihan yang digelar di depan lapangan Dinas Pendidikan Kabupaten Kayong utara.
Selain lenggak-lenggok penari yang menjinjing bakul anyaman, salah satu bentuk tarian yang memikat perhatian para penonton ialah tari bertema hutan lestari.
Sekelompok pelajar mengangkat ranting dahan kering, dan diikuti sekelompok penari lainnya.
"Tarian ini ingin bercerita kepada penonton tentang kondisi alam Kalimantan yang gundul, tak lagi jadi paru-paru dunia," kata Alex Hasyim, pelatih sekaligus koreografer Kinarya Guruh Soekarno Putra (GSP).