Lihat ke Halaman Asli

YAKOB ARFIN

TERVERIFIKASI

GOD LOVES TO USE WHO ARE WILLING, NOT NECESSARILY THE CAPABLE

Rangkul ODHA, Renggangkan Stigma

Diperbarui: 23 Maret 2017   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: manajemen-islam.blogspot.co.id

"Yang terpenting bukanlah apa yang sudah hilang, melainkan apa yang masih ada."

Saya tak pernah menduga, bahwa HIV itu demikian menyeramkan. Saking seramnya - banyak orang yang kethar kethir saat mendengar, apalagi bila tahu ada tetangganya yang kalem alim dan salihah itu mendadak bisu, mengurung diri  dalam rumah didera frustasi yang tak segan menjamah.

Omong-omong, sambil cerita sana-sini menyicing androk pendek, tetangga usil dan tak peka itu mengernyitkan cerita, bahwa, perempuan usia kepala tiga yang suaminya baru meninggal itu, kini telah pergi karena penyakit yang dianggap laknat.

Pantas bila selama beberapa bulan ini dia tampak mondar mandir keluar rumah diam-diam seperti maling ayam, dengan rautnya yang kusut dan perawakannya yang agak susut.

"Dengar-dengar sih, dia lagi main ke dokter dalam. Konsultasi katanya," sambil melirik botol plastik berserak di bak sampah yang labelnya dikuliti samar-samar. Botol dan kresek obat rupanya.

***

Barangkali, realitas kecut menggetirkan seperti itulah yang dirasakan Lutfi Yalisa dan Muhamad Burhan. 

"Yang terpenting bukanlah apa yang sudah hilang, melainkan apa yang masih ada," ungkap Muhamad Burhan, mahasiswa Unila itu, kala melandaskan hati untuk mendokumentasikan rekatnya ruang eksklusi sosial yang diikat stigma pada sekelompok SADHA (Saudara Dengan HIV Aids) di Lampung.

Lutfi Yalisa dan Muhamad Burhan saat mengikuti Eagle Lab Day 2 (Foto: Twitter EagleAwards

Bersama rekan satu tim dalam menggagas ide film tersebut, mahasiswa Prodi Keguruan Unila ini menawar rasa takut sebagian masyarakat yang masih enggan bersentuhan dengan mereka yang gigih mempertahankan kehidupan bersama antiretroviral, lewat dokumentasi singkat yang dielaborasi dalam frame sebuah film pendek.

Sha Ine Febrianti, salah satu dari tiga dewan juri, aktris yang pernah membawakan teater monolog 'Surti dan Tiga Sawunggaling' karya Goenawan Muhammad itu pun mempertanyakan, bagaimana mereka membangun kedekatan dengan sosok perempuan yang kini usianya 38 tahun.

Sosok perempuan yang bakal menjadi salah satu sosok yang diangkat dalam instrumen film yang mengusung Indonesia Sehat sebagai tema dalam Eagle Awards Documentary 2016, tahun ini memasuki tahun ke sembilan (sebagai SADHA) dan bertahan setelah melalui batas-batas stigma.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline