Lihat ke Halaman Asli

YAKOB ARFIN

TERVERIFIKASI

GOD LOVES TO USE WHO ARE WILLING, NOT NECESSARILY THE CAPABLE

Lawang Sewu, Menilik Ruang Sejarah Kereta Indonesia

Diperbarui: 15 Juli 2016   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sketsa lukisan Lawang Sewu. Bangunan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) ini diilhami oleh bentuk bangunan sudut kota Eropa abad pertengahan. (FOTO:YAKOB ARFIN)

Semarang bukan main panasnya, menyengat dengan penuh daya hingga 35 derajat celsius. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Nyaris seragam dengan teriknya Ibukotanya para migran. 

Menyusuri jalanan aspal Semarang tanpa berbekal SIM C (Surat Ijin Mengemudi) terasa istimewa. Bersama si Scoopy menyelinap di antara Trans Semarang sambil menjaga pandangan waspada dari jangkauan Polantas - makin membuat hati bahagia.

Selamat. Setiap jengkal lampu merah pun terlampaui. Jangan ditiru. Tak bermaksud melawan aturan. Tapi apa dikata bila rasa ingin itu tak lagi bisa dipendam.

Gambang Semarang yang biasa mengawang di Stasiun Tawang seolah memanggil dan memikat. Sebab itu salah sebuah alasan menyempatkan mampir empat malam di kota lumpia.

Di lampu merah Tugu Muda mata ini terdiam. Enam puluh detik disengat panas pun sepertinya tak terasa, sembari menatap fasade kembar milik bangunan berarsitektur eropa abad pertengahan.

Sisi bangunan Lawang Sewu dengan fasade yang indah khas bangunan eropa (FOTO: YAKOB ARFIN)

Lawang Sewu. Apalagi kalau bukan landmark yang sudah rindu sekali untuk dijajahi. Tampilannya yang apik, gagah dan mistik, menambah semarak Kota Batavia kedua ini.

Weerkspoor Amsterdam buatan 1924 dijajar di halaman. Seperti dipamerkan bahwa dulu ia pernah berjaya. Kata orang dan banyak tulisan, ini museum yang diperuntukkan menilik sejarah Kereta Api Indonesia.

Electrisch Gedeelte dijejer menyambut pengunjung yang ingin menilik sejarah kereta api di Lawang Sewu (FOTO: YAKOB ARFIN)

Dengan tiket seharga sepuluh ribu rupiah, ia mulai bercerita. Tak dinyana, dari Batavia ke Surabaya untuk kali pertamanya terhubung melalui Bogor, Kota Hujan tempatku dulu berkelana.

Semakin memikat saat mengetahui kenyataan, bahwa perlu tiga  hari tiga malam perjalanan jauhnya untuk ke sana, kala itu.

Terbayang rasanya di pelupuk mata, bila mana mesti mudik ke Surabaya naik Sepur Electrisch Gedeelte dalam tempo tiga hari.

Memasuki ruang demi ruang sambil mengkalkulasi jumlah lawang. Hingga bertemu rupa-rupa diorama bertaut sejarah. Mulai dari alat hitung odner (kalkulator model lawas) buatan Swedia, berkas-berkas kuno, hingga peta perkembangan jalur kereta Jawa-Madura 1888.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline