[caption id="attachment_402048" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/KOMPAS/IWAN SETIYAWAN"][/caption]
Tulisan ini hanya menjadi ungkapan uneg-uneg saya atas rasa geram, kesal, tapi juga bingung harus berbuat apa.
Akhir tahun 2014 lalu, saya pulang ke kampung halaman saya di Jawa Timur untuk merayakan natal serta tahun baru bersama keluarga. Saya sangat menikmati momen tahunan ini.
Namun sukacita ini terasa kurang lengkap, karena kakak saya, yang bekerja sebagai guru sukarelawan (sukwan) di salah satu sekolah dasar negeri harus mengerjakan tugas “tambahan” yang diembankan padanya, sehingga tidak bisa berkumpul bersama keluarga untuk merayakan natal yang penuh damai ini.
Dengan honor yang terbilang kecil (Rp 200.000) sebagai pengajar, ia juga ditugasi sebagai operator sekolah, yang nilai upahnya tak seberapa. Pekerjaan tambahannya ini terlihat sederhana. Namun setelah saya perhatikan dengan seksama ternyata tidak mudah.
Sebagai operator sekolah, ia tidak hanya mengurusi tetek bengek data Dapodik (Nomor Pokok Sekolah Nasional, NUPTK, dan juga Nomor Induk Siswa/NISN), tetapi juga membuat laporan mengenai laporan soal BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Dari sekian tanggung jawab yang cukup njlimet (memusingkan) ini, tugasnya membuat laporan BOS inilah yang membuat saya geram. Bagaimana tidak geram, karena kakak saya harus membuat rekonsiliasi barang yang semua datanya tidak sesuai dengan yang dibelanjakan oleh sekolah.
[caption id="attachment_355138" align="aligncenter" width="496" caption="Ilustrasi (http://www.tempo.co/)"]
[/caption]
Sang kepala sekolah yang "budiman" itu dengan gaya arogannya yang khas, memberi mandat untuk memanipulasi semua daftar belanja sekolah.
Jumlah sapu, misalnya, ditulis 15 buah. Padahal dua - tiga batang sapu pun tak ada di setiap kelas. Kalau pun ada batang sapunya sudah patah semua. Belum lagi bola takraw, bola sepak dan bola volley semua yang tercantum dalam laporan itu seperti angka siluman.
Tidak habis pikir, karena selama ini para siswa jangankan untuk berolahraga dengan bola takraw, bola volly saja wujudnya tak pernah muncul di halaman sekolah.
Lucunya lagi, kakak saya pun dimandatkan untuk berusaha sebisa mungkin membuat nota palsu, entah dengan cara bagaimana (seolah semua cara dihalalkan). Alih-alih supaya semua barang yang dibelanjakan oleh sekolah sesuai dengan kenyataan dan sesuai dengan lemabr pertanggung jawaban.
Lalu, kemana dana operasional sekolah yang susah payah dikucurkan oleh pemerintah itu?
Melihat realita ini saya menjadi berpikir, bahwa sifat tamak dan budaya korupsi ini sudah menjangkiti bagian sel yang terkecil. Bukan hanya melumpuhkan organ-organ yang kasat mata.
Selama ini yang mencuat ke permukaan dan gencar diberitakan oleh media hanyalah penyelewengan-penyelewengan anggaran yang dilakukan para elit politik. Namun di balik itu, “penyakit” masyarakat ini sudah mengeriap tajam hingga ke ujung rambut.
Apa boleh dikata, hawa nafsu dan cinta akan uang ini seperti sudah tidak terkendali. Nilai yang diajarkan agama soal kejujuran pun luruh lenyap begitu saja demi dikenyangkan oleh materi yang tak akan menjadi darah daging yang kekal.
*Tulisan ini saya tuangkan setelah mengendap sekian lama setelah mendengar curhatan dari kakak saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H