Lihat ke Halaman Asli

Perdebatan Teknologi dalam Cita-cita Ketahanan Pangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai upaya manusia untuk mempermudah aktifitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup, teknologi berkembang mengiringi kesadaran manusia dalam hal pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersiernya. Dengan demikian teknologi telah merambah pada berbagai bidang yang berkaitan dengan kebutuhan manusia yang semakin beragam seiring dengan perkembangan teknologi itu sendiri.

Akan tetapi, keberadaan industri-industri penunjang pengembangan teknologi dalam berbagai bidang sedikit banyak telah menyebabkan anomali alam. Lingkungan yang tidak kondusif akibat anomali alam menuntut mahluk hidup untuk bisa beradaptasi demi mempertahankan keberlangsungan hidupnya.Dalam hal ini, manusia sebagai kontributor anomali alam dituntut untuk mampu melawan dampak negatif dari teknologinya sendiri yang tentusaja membutuhkan teknologi yang baru.

Ada banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh anomali alam jika kita tinjau dari berbagai sudut pandang keilmuan.Akan tetapi, penanggulanan dampak negatif dalam ketahanan pangan perlu mendapat prioritas utama karena memiliki keterkaitan erat dengankualitas hidup manusia.

Tantangan Ketahanan Pangan

Suatu Negara dapat dikatakan telah mencapai ketahanan pangan jika mampu memenuhi tiga pilar ketahanan pangan, yaitu :

1.Ketersediaan pangan ; kemampuan suatu Negara dalam menyediakan pangan untuk masyarakatnya.

2.Keterjangkauan pangan ; kemampuan masyarakat dalam memperoleh pangan yang telah disediakan oleh Negara.Poin ini erat kaitannya dengan kondisi ekomoni masyarakat.

3.Kualitas pangan ; pengaruh pangan yang dikonsumsi terhadap kesehatan masyarakat.

Dewasa ini, manusia berhadapan dengan tantangan besar dalam kualitas dan kuantitas pangan jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Budidaya Pertanian.Kualitas dan kuantitas pangan yang menurun tidak lain adalah dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pemanfaatan teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Teknologi semacam itu telah meningkatkan pencemaran lingkungan yang mengharuskan tanaman untuk merubah aktifitas fisiologisnya demi mempertahankan hidupnya dari kerusakan. Perubahan aktifitas fisiologis tersebutlah yang menyebabkan kondisi pangan diseluruh dunia menjadi tidak sesuai dengan harapan manusia.

Selain itu, sebagai upaya untuk menciptakan teknologi yang ramah lingkungan beberapa negara seperti Brasil, Amerika serikat, dan Negara-negara eropa berupaya untuk meningkatkan pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber energi yang terkenal dengan istilah Bioenergy. Hal ini merupakan kemajuan penting dari sudut pandang ilmu ekologi namun menjadi ironi bagi ketahanan pangan. tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku Bioenergy merupakan makanan pokok bagi sebagian besar Negara. Dengan demikian, Bioenergy justru menjadi salah satu ancaman bagi ketersediaan pangan dunia.

Polemik menyambut Revolusi Hijau Jilid II

Upaya ilmuan dalam menyelesaikan masalah ketahanan pangan telah melahirkan sistem pertanian organik dan pengembangan tanaman transgenik. Pertanian organik memiliki keunggulang dalam menjamin kualitas pangan namun belum mampu menjamin ketersediaan pangan yang cukup; sedangkan, tanaman transgenik telah mampu menghasilkan spesies-spesies tanaman yang memiliki produktifitas tinggi yang dapat meningkatkan ketersediaan pangan namun kualitasnya masih diragukan oleh berbagai pihak.

Selain itu, pertanian organik dan tanaman transgenik memiliki dampakberbeda pada lingkungan. Tidak sedikit dari hasil pengembangan tanaman transgenik memberi dampak negatif pada lingkungan; sedangkan, sistem pertanian organik justru mampu dan memang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Dengan mempertimbangkan kualitas produk dan dampaknya terhadap lingkungan keberadaan tanaman transgenik menimbulkan berbagai penolakan. Termasuk penolakan oleh FAO yang menggolongkan tanaman transgenik sebagai tanaman terlarang dalam Good Agricultural Practices yang diprogramkan oleh FAOdan dokumen Organic Agriculture and the Law yang juga diterbitkan oleh FAO pada tahun 2012.

Walaupun diyakini memiliki produk yang berkualitas, penerapan sistem pertanian organik masih diragukan.Dengan produktifitasnya yang rendah, sistem ini diyakini belum menjamin dan/atau bahkan semakin mengancam ketersediaan pangan bagi penduduk dunia (diperkirakan mencapai 9 miliar jiwa pada tahun 2045) jika diterapkan secara besar-besaran.

Siapapun berhak untuk mendukung penerapan sistem pertanian organik dan/atau pengembangan tanaman transgenik.Akan tetapi, dukungan tidak harus diikuti dengan penolakan pada salahsatu diantara keduannya.Penolakan tersebut sama saja dengan menolak kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang petanian yang sama-sama menawarkan alternatif penyelesaian problermatika ketahanan pangan. Sudah menjadi tanggungjawab ilmuan untuk merombak apa yang harus dirombak, mencipta apa yang harus dicipta, dan mengembangkan apa yang harus dikembangkan.

Polemik ini akan berakhir jika ilmuan mampu meningkatkan produktifitas pertanian organik (minimal setara dengan sistem pertanian konvensional) dan ilmuan pengembang tanaman transgenik juga dapat memastikan bahwa tanaman transgenik telah bebas dari efek negatif pada manusia dan/atau lingkungan.

Apabila ilmuan telah mencapai tahap itu bukan tidak mungkin tanaman transgenik dan sistem pertanian organik dapat diintegrasikan. Integrasi tersebut akan mengantarkan sistem pertanian dunia menuju revolusi hijau jilid II untuk menghapus sistem pertanian konvensional yang semakin diragukan dalam menjamin ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas ditengah anomali iklim dan pertambahan penduduk dunia.






BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline