[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="Sang Gladiator di Koloseum Roma"][/caption]
Siang itu, saya berada di tengah-tengah Colosseum. Saya ingin sekali merasakan menjadi seorang ‘gladiator’ yang mempertahankan hidup di hadapan musuh. Tak ada pintu keluar untuk melarikan diri, dan cuma ada dua pilihan, yakni membunuh atau dibunuh.
Colosseum atau koloseum di tengah kota Roma Italia ini, dulunya merupakan tempat pertunjukan layaknya Stadion Bung Karno Senayan Jakarta. Menurut arkeolog, Colosseum dibangun pada tahun 70 hingga 82 Masehi. Nama Colosseum berasal dari sebuah patung setinggi 130 kaki atau 40 meter yang bernama Colossus. Tempat dapat menampung 50 ribu orang penonton.
Dalam masa kejayaan Kerajaan Romawi, Koloseum adalah tempat pertunjukan spektakuler, yaitu sebuah pertarungan antara binatang buas (venetaiones), pertarungan antara tahanan dan binatang, eksekusi mati tahanan (noxii), pertarungan air dengan cara membanjiri arena (naumachiae), dan pertarungan antara gadiator (munera). Selama ratusan tahun itu, diperkirakan ribuan orang maupun binatang mati di pertunjukkan Koloseum.
Bangunan ini masih digunakan sampai tahun 217, meskipun telah rusak kebakaran karena disambar petir. Colosseum telah diperbaiki di tahun 238 dan permainan gladiator berlanjut sampai umat Kristen secara berangsur-angsur menghentikan permainan tersebut karena terlalu banyak memakan korban jiwa.
Maximus yang diperankan oleh Russell Crowe dalam film ‘Gladiator’, menunjukkan jati diri seorang patriot meski dicap sebagai budak yang hanya mampu berkelahi. Meski akhirnya tewas, Sang Gladiator ini mampu membuka mata hati ribuan penonton, tentang cita-cita yang kandas di balik upaya mempertahankan hidup di arena pertarungan.
Usai mengamati Koloseum, saya langsung teringat oleh berita tentang kematian Ruyati, TKI yang dipancung di Arab Saudi. Menurut Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, Ruyati binti Satubi membunuh istri majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani, setelah setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan. Saya setuju dengan pernyataan Pak Beye, agar Indonesia dan Arab Saudi dapat menarik pelajaran berharga dari kasus tenaga kerja wanita Ruyati untuk meningkatkan hubungan ke depan yang lebih baik.
Entah apa sebenarnya alas an Ruyati membunuh. Saya hanya bisa berasumsi, seorang Ruyati mengalami tekanan selama menjadi pembantu rumah tangga (PRT) atau TKI informal. Bagi saya, Ruyati melakukan tindakan yang luar biasa untuk mempertahankan hidup, layaknya seorang gladiator.
Ruyati membunuh istri majikannya dengan sebilah pisau dapur. Bisa jadi, tindakannya itu adalah akibat kondisi Ruyati yang terpojok karena tersiksa lahir-batin. Ruyati tak mungkin kabur. Apalagi sebagian besar warga Arab Saudi tinggal di apartemen atau rumah yang terkunci rapat. PRT hanya boleh ke luar rumah jika diperlukan oleh sang majikan.
Kenapa Ruyati harus membunuh?
Tulisan ini sengaja saya, buat tanpa ingin menyentuh aturan-aturan syariah. Jika Ruyati masih hidup, tentunya dapat membagi-bagikan testimoni bagi kita semua, khususnya TKI yang bekerja di luar negeri. Mudah-mudahan, puluhan TKI di Arab Saudi yang kini menanti ajal, bisa berbagi testimoni, tentang alas an dasar melakukan pelanggaran hukum. Alasa ini bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam menempatkan TKI.
Menurut saya, Ruyati membunuh karena pilihannya membela diri dari ancaman. Sang istri majikan adalah ancaman yang membahayakan dirinya. Setiap orang yang terkurung dan tak dapat keluar dari serangan musuh, tentunya hanya memiliki dua pilihan, yakni membunuh atau dibunuh. Sebelum ia menikam korban, Ruyati sudah tahu jika membunuh akan dihukum. Apalagi ia sudah 10 tahun lebih menjadi TKI.
Dua pilihan yang dihadapi Ruyati itu mirip sekali dengan situasi seorang gladiator di Koloseum Roma, abad pertengahan yang lalu. Bedanya, setiap gladiator harus bertahan hidup di tengah puluhan ribu penonton. Sedangkan Ruyati bertahan hidup tanpa saksi mata yang dapat meringankan hukumannya.
Kini, di tengah Koloseum ini, saya bisa merasakan ‘penderitaan’ sang Gladiator sebelum menanti ajal. Meski sebagian bangunan Koloseum telah runtuh karena dimakan usia, tapi ini bisa menjadi pelajaran bagi umat bangsa di dunia. Setiap anak manusia tak boleh memiliki pilihan tersebut. Setiap orang berhak merdeka dari perampasan hak-hak hidup.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H