Lihat ke Halaman Asli

Perlindungan HAM Indonesia Masih Sebatas Pencitraan

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa berbicara di depan forum Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Swiss. Sayangnya, Pak Marty justru terkesan berperan layaknya seorang pengamat politik dan bukan sebagai utusan Presiden RI.

Pidato Pak Marty itu disampaikan pada sesi dialog dalam kerangka Universal Periodic Review (UPR) Putaran Kedua, pada Sidang Sesi ke-13 Kelompok Kerja UPR Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss (23/05/2012). Dialog dengan Dewan HAM PBB juga diikuti oleh 13 negara anggota PBB lainnya seperti Inggris, Belanda, India dan Filipina. Semua negara anggota PBB, tanpa terkecuali, harus menjalani review atas kinerjanya di bidang HAM.

Di forum tersebut, Menlu mengakui bahwa ada kelompok-kelompok garis keras dan cenderung ekstrem, sehingga terjadi pertentangan prinsip-prinsip demokrasi. Ini menjadi tantangan bagi Indonesia dalam tetap mempertahankan alam demokrasi di negeri ini.


“Seperti negara demokrasi lainnya, baik yang telah mapan maupun yang sedang dalam transisi, kami sadar bahwa peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia bukan tanpa tantangan. Bagi Indonesia tantangan tersebut dirasakan semakin besar mengingat keragaman etnis, budaya dan agama serta bentuk geografis Indonesia. Namun komitmen Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM tidak akan berjalan di tempat apalagi bergerak mundur,” kata Natalegawa.

Menurut saya, isi pidato Pak Marty itu bukan yang diharapkan oleh banyak pihak, khususnya kalangan aktivis HAM. Sepertinya, ia sengaja tidak secara rinci menanggapi isu-isu pelanggaran HAM di Indonesia, yang terjadi pasca-reformasi maupun pelanggaran HAM di masa lampau.

Bahkan, Pak Marty menuding munculnya pelanggaran HAM dalam beberapa tahun terakhir ini, merupakan dampak dari kebebasan demokrasi yang tak terbatas. Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia terjadi akibat Negara belum mampu memaksimalkan kinerjanya di lapangan. Dan harus diakui, pelanggaran HAM terjadi karena adanya proses pembiaran oleh pemerintah.

Kenapa Menlu RI tak jujur di depan forum Dewan HAM PBB?

Entahlah. Yang jelas, usai ia berpidato, reaksi keras disampaikan oleh kalangan aktivis HAM yang menganggap pidato Pak Marty sangat mengecewakan. Sejumlah LSM menyorot intoleransi yang dilakukan kelompok tertentu atas kaum minoritas di Indonesia, seperti permasalahan pendirian sejumlah gereja, penganiayaan umat Ahmadiyah, dan pelarangan diskusi buku. Kalangan LSM ini juga menyayangkan pemerintah maupun aparat keamanan Indonesia membiarkan intoleransi itu terjadi.

Seperti dilansir Koran Kompas hari ini, jawaban Menlu tersebut disikapi negatif dan dianggap mengecewakan banyak kalangan. Direktur Eksekutif Komisi HAM Asia (AHRC) Wong Kai Shing misalnya, menganggap jawaban Menlu dinilai tak lebih dari sekadar respons untuk menghindar.

Menurut saya di masa depan, perwakilan pemerintah RI di forum resmi Dewan HAM PBB ini sebaiknya jangan diberikan ke Menlu RI. Pak Marty itu kan tugasnya berdiplomasi dalam pentas politik luar negeri. Sedangkan untuk forum seperti ini, idealnya pejabat pemerintah yang berkompeten yang terlibat langsung dalam perlindungan HAM, seperti Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Kepala Polri. Merekalah yang berwenang menjelaskan kondisi perlindungan HAM di Indonesia dengan sebenarnya. Jika tak mampu berbahasa inggris secara lisan, toh sekarang ini ada teknologi penerjemah audio di ruang forum. Jadi tak ada kata masalah teknis kan?

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

My Blog KompasianaWebsiteFacebookTwitterPosterousCompanyPolitics |




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline