[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Puncak acara HPR GMIM ke-22 di Manado dihadiri oleh 20 ribu remaja se-Sulawesi Utara (Foto:Manado Post)"][/caption]
Belum lama ini, para remaja Kristen menggelar pertemuan akbar di Manado. Pertemuan puncak ini merupakan rangkaian acara Hari Persatuan Remaja Gereja Masehi Injili di Minahasa (HPR GMIM) yang ke-22.
Saya menyambut positif acara ini, apalagi semuanya dikemas dalam kegiatan kerohanian. Jarang sekali pejabat tinggi mendukung kegiatan kaum remaja, karena dianggap kurang kena bagi tujuan politis mereka. Bahkan, dunia usaha juga kurang antusias memberikan bantuan dana bagi kegiatan-kegiatan kerohanian para remaja, seperti konser rohani, cerdas-cermat Alkitab, lomba pidato berbahasa Inggris dan perlombaan olah-raga.
Selama ini, kaum remaja kerap menjadi kelompok yang disalahkan jika terjadi tindak kriminal. Generasi muda ini juga selalu dianggap menjadi sumber persoalan sosial, seperti perkelahian pelajar, pergaulan bebas, pesta miras dan peredaran narkoba. Bagi saya, jika seorang remaja mengalami masalah, sesungguhnya masalah utama ada pada orang tuanya.
Lantas, apakah kita sebagai ‘generasi senior’ cuma berdiam diri?
GMIM, adalah salah satu organisasi gereja di Sulawesi Utara (Sulut), yang memiliki banyak jemaatnya. Secara kuantitas jumlah anggotanya, GMIM adalah gereja terbesar kedua setelah Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Meski demikian, sama seperti organisasi keagamaan lainnya di Indonesia, GMIM memiliki persoalan dalam memfasilitasi kegiatan para kawula muda.
Berkat dukungan anggota jemaat dan simpatisan, kegiatan HPR GMIM dapat terlaksana. Sejumlah artis muda dari ibukota, turut menjadi penyemangat kehadiran para remaja dalam ibadah pembukaan di Grand Kawanua Internasional City (GKIC). Salah satunya adalah Igor mantan personal Saykoji, mampu menghibur 20 ribu remaja dengan kidung pujian.
Saya bersyukur, di Sulut masih ada kalangan orang dewasa yang peduli dengan kegiatan remaja, di antaranya dari GoJacko Foundation. Biasanya, kegiatan kalangan remaja kurang mendapat perhatian serius. Ini akibat stigma yang melekat pada remaja, yakni dianggap kelompok ‘bukan anak kecil lagi tapi belum dewasa’. Stigma ini harus dihapus, karena justru di usia mereka saat remaja ini, sangat menentukan perkembangannya di saat dewasa nanti.
Semoga konsep kegiatan seperti ini dipelihara di masa mendatang. Malah jika perlu, daerah-daerah lain di Indonesia meniru hal ini, supaya para generasi muda ini mendapat tempat yang layak sama halnya dengan kegiatan orang dewasa.
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :
| Kompasiana | Website | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H