Lihat ke Halaman Asli

Wartawan Vs SMU 6: Siapa yang Salah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://2.bp.blogspot.com/-3igQDsUXZOY/Tnbpzciui0I/AAAAAAAAAdM/_U--D0XR5g8/s1600/IMG00016-20110919-1221.jpg

"Turun kau dari sana!", teriak seorang guru Kimia.

"Woi, ngapain lo di sana!" teriak seorang siswa.

"Turun! Apa-apaan kamu!", hardiksiswa lainnya.

"Tunjukkan etikamu!" teriak warga kantin dan sejumlah guru.

Tapi semua teriakkan itu langsung dibalas, "Jangan bicara soal etika kepada saya. Awas kamu, saya bisa menuntut! Kerja wartawan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers"

Percakapan bernada emosional di atas nyaris luput dari pemberitaan media massa. Orang di atas Pos Satpam itu ditengarai sebagai fotografer (atau camera person TV?) yang diduga memancing provokasi ke penghuni SMU 6 yang berlokasi tak jauh dari pusat perbelanjaan Blok M Jakarta. Menurut seorang siswa yang menyampaikan laporan pandangan matanya di-blog-nya, ucapan ‘fotografer’ yang berada di atas Pos Satpam itu dilakukan sambil menunjuk-nunjuk ke arah saya dan orang-orang yang berada di bawahnya. Pembelaan siswa SMU 6 yang menganggap wartawan sebagai pemicu bentrokan itu, bisa dilihat di sini.

Akibat dialog panas dan singkat tersebut, Indraswari Pangestu yang menuliskan ‘live report’ itu menganggap kelompok wartawan di luar pagar sekolah sebagai sumber masalah. Para siswa dan guru merasa terganggu oleh ulah wartawan, yang sejak pukul 09.30 menggelar aksi damai di luar pagar sekolah. Aksi tersebut merupakan bentuk ekspresi setelah hari Jumat (16/9/2011), camera preson Trans7, Oktaviardi, dirampas kasetnya seusai meliput tawuran antara SMAN 6 dan SMAN 70.

Namun, pemicu bentrok itu tampaknya nyaris luput dari berita media, khususnya di kompas.com. Menurut versi polisi, bentrokan dimulai akibat terjadi cekcok mulut antara pelajar dengan wartawan di area sekolah. Sedangkan versi wartawan lain lagi, yakni bentrokan akibat pelemparan mangkok di tengah kerumunan antara siswa dan wartawan. Kesamaan versi polisi dan wartawan yakni bentrok yang terjadi di pukul 11 usai para siswa meninggalkan sekolah.

Hal yang menarik bagi saya adalah perdebatan siswa dan guru dengan ‘seorang fotografer’ yang disinyalir sebagai pemicu bentrok versi siswa SMU 6. Saya bisa membayangkan betapa terganggunya para siswa dan guru yang sedang melaksanakan kegiatan belajar-mengajar, akibat ‘suara gaduh’ sekelompok orang di luar pagar yang berdemonstrasi. Aksi unjuk rasa dengan cara damai apa pun, tapi jika dilakukan dengan pengeras suara seperti megaphone, tentunya akan mengganggu konsenstrasi.

Secara psikologis menurut saya, adalah wajar siswa dan guru menjadi kesal dan tersulut emosinya, apalagi saat berhadapan langsung dengan ‘sumber masalah’ usai sekolah usai, pukul 11 siang itu.

Sementara itu, di saat yang sama detik-detik terakhir menjelang bentrok tersebut, sekolompok wartawan yang berada di luar sekolah tak menduga bakal terjadi benturan fisik. Emosi wartawan sudah terlampiaskan di saat demonstrasi, sedangkan emosi siswa ibarat bensin yang tinggal tersulut api. Reaksi kecil apapun seperti kata-kata kasar, bahasa tubuh atau lemparan mangkok dari orang tak bertanggung jawab, menjadi penyulut bentrok.

Idealnya, wartawan yang bertubuh lebih besar dari anak sekolah, mampu menghadapi betrok. Tapi karena kalah dalam jumlah dan beban tugas di tangan seperti kamera, alat perekam, ponsel dan lain-lain, maka bentrok fisik dimenangkan oleh para siswa. Saya percaya, para wartawan tak akan menggunakan cara-cara kekerasan dalam tugas di lapangan. Meski tak menutup kemungkinan, setiap orang berhak melawan jika dalam kondisi terdesak.

Perlukah setiap jurnalis memiliki ilmu beladiri seperti karate, silat atau taekwondo? Menurut saya, perlu! Setiap jurnalis di lapangan seyogianya memiliki keterampilan tambahan beladiri untuk melindungi nyawanya. Kasus tenggelamnya Kapal Livina di perairan Bekasi bisa menjadi contoh, bahwa setiap jurnalis harus mampu berenang. Jika tak mampu berenang, sebaiknya jangan nekat melaksanakan tugas peliputan.

Dan terakhir, setiap jurnalis harus mampu mendeteksi ancaman di sekitarnya. Berdemo di depan SMU 6 itu sama saja dengan memberi makan harimau dengan tangan kosong. Menurut saya, sebaiknya aspirasi disalurkan melalui proses yang berlaku.

Tulisan ini saya muat bukan bermaksud menyudutkan kinerja jurnalis, khususnya wartawan yang bentrok di ‘Bumi Mahakam’ itu. Saya mencoba memberi sudut pandang berbeda, agar rekan-rekan jurnalis termasuk pimpinan di kantor redaksi bersikap bijak.

Semoga ada titik terang dalam masalah ini, meski proses hokum harus tetap berjalan. Saya berharap ada damai untuk Negeri ini. Saling memaafkan itu adalah kebahagiaan bagi kita semua.

Salam Kompasiana!

[caption id="" align="aligncenter" width="619" caption="Fotografer Kontan, Fransiskus Simbolon (kanan) mencoba bertahan dari serangan para siswa SMAN 6 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Senin (19/9/2011). Kejadian ini bermula saat sejumlah wartawan melakukan aksi protes berkaitan dengan kasus perampasan kamera video salah satu wartawan Trans 7 saat meliput tawuran sekolah tersebut. (KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI)"]

[/caption]

Jackson Kumaat on : Kompasiana | Facebook | Twitter | Blog | Posterous | Company | Politics




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline