Lihat ke Halaman Asli

17 Tahun Bersama Pisang Medan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ADA banyak kisah menarik yang menginspirasi Hari Ibu. Sambil berjalan di seputaran kantor usai santap siang, langkah saya terhenti di depan sebuah kios penjual pisang barangan yang dijaga seorang ibu. Pisang barangan (Musa Paradisiaca) lebih disebut sebagai pisang medan.

Saya pun berkenalan dengan Uni, seorang ibu dengan dua dua orang anak asal Minang. Awalnya, saya membeli pisang secukupnya, yakni cuma dua sisir masing-masing seharga Rp 20 ribu. Saya sedikit terkejut, karena di kios Uni terdapat ribuan sisir pisang barangan. Buah khas asal Medan ini, sengaja ia datangkan dari Pematang Siantar. Di daerah asalnya, pisang ini adalah komoditas andalan makanan untuk diekspor ke Singapura.

Uni pun bercerita kenapa ia berjualan pisang di hari tuanya. Pekerjaan ini dilakoninya sejak 17 tahun lalu, ketika Indonesia dilanda krisis moneter. Alih-alih profesi, akhirnya Uni mencoba berjualan pisang. Pisang yang dijualnya pun sebatas pisang barangan. Mungkin, karena fokus menjual produk trend mark, membuat kios Uni dicari oleh komunitas masyarakat.

Sebenarnya, Uni bisa saja menjual pisang ambon atau pisang emas (Lampung). Tapi hal itu tak ia lakukan, karena kesulitan distribusi.

”Pisang barangan ini dibawa dengan truk dari Siantar dengan waktu 3 hari perjalanan. Sewaktu dipetik masih hijau dan mentah, tapi setelah tiba sudah bisa dimakan meski masih hijau. Biasanya, 3-4 hari di kios barulah menguning,” kata Uni menjelaskan kondisi barang dagangannya.

Pekerjaannya berjualan pisang barangan, bukanlah tanpa sistem kerja. Uni dan sang suami, Bang Lubis, memesan pisang sesuai permintaan pembeli. Untuk itu, setiap pembeli harus memesan 3-4 hari sebelum hajatan atau acara. Jadi, jika ingin membeli 50 atau 100 sisir, maka pembeli harus memesan minimal 3 hari sebelumnya. Ini dilakukan sepaya pisang yang tiba di lokasi acara masih fresh dan enak dimakan.

Harga pisang barangan ini bervariasi. Pisang yang ukuran kecil seharga Rp 8 ribu, yang sedang Rp 15 ribu dan yang besar seharga Rp 20 ribu setiap sisir. Dalam sehari, omset penjualan suami-istri ini bisa mencapai Rp 1 juta per hari. Sedangkan di akhir pekan yang biasanya banyak acara hajatan bisa mencapai Rp 2-5 juta!

Siapa saja pembeli utama pisang barangan?

Nah, ini dia pangsa pasar pisang barangan. Pembelinya antara lain komunitas Batak yang menggelar hajatan pernikahan atau acara pemakaman dan penhiburan, komunitas ibu-ibu pengajian, rumah makan, pemilik katering dan menu bagi pasien di rumah sakit.

Bayangkan saja, saat ini Uni sudah memiliki pembeli tetap setiap minggu dari sejumlah rumah sakit dan rumah makan di kawasan Jakarta Selatan. Kondisi inilah yang membuat kios seukuran 3X6 meter ini penuh dengan pisang.

Selama 17 tahun berjualan pisang, Uni dan Sang Suami berhasil menafkahi keluarga. Dua orang anaknya yang sudah menikah, adalah lulusan Universitas Gunadharma. Meski keduanya sudah mandiri dan bekerja di perusahaan besar, tapi Uni mengaku ingin tetap bekerja. ”Pantang bagi saya untuk meminta uang dari anak,” katanya.

Bagi Anda yang di Jakatya, mau tahu rasa pisang barangan asal Siantar ini? Silakan datang ke kios Uni-Uda di jalan Warung Jati Timur, kawasan Buncit Jakarta Selatan. Pisang ini renyah digigit, enak bergoyang di lidah dan rasanya sangat manis.

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

Kompasiana | Website | Facebook | TwitterBlogPosterousCompanyPolitics |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline