Lihat ke Halaman Asli

Kisah Pilu Blackberry Setengah Harga

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ribuan calon pembeli BlackBerry Bold 9790 atau Bellagio sudah menunggu di luar Pacific Place, Jakarta, sejak Kamis (24/11/2011) malam. Pada penjualan perdana Jumat (25/11/2011), 1.000 pembeli pertama mendapatkan diskon 50 persen. (RODERICK ADRIAN MOZES/KOMPAS.COM)"][/caption]

Lagi-lagi ricuh saat antre! Tadi pagi, Pacific Place Jakarta menggelar acara ‘heboh’ menjual blackberry dengan harga setengah dari harga normal. Alhasil, ribuan orang berebut antre tanpa penanganan maksimal dari pihak penyelenggara.

Rencana penjualan BlackBerry type 9790, sekaligus launching perdananya, akhirnya berujung ricuh. Seorang warga yang turut antri menjadi korban luka parah, dan sejumlah orang lainnya pingsan karena berdesak-desakan. Beruntung, polisi langsung bersikap tegas, meski terbilang terlambat, yakni membubarkan acara tersebut demi keamanan dan ketertiban umum.

Saya masih ingat peristiwa yang sama, dua tahun lalu di tanggal yang sama. (Baca tulisan saya: BlackBerry Melayang, Gara-gara HP Rp 100 Ribu) Kala itu, produsen Nexian menggandeng Esia menjual ponsel terbaru seharga Rp 100 ribu. Saya sangat sedih, melihat puluhan ibu-ibu dan anak-anak turut berdesakan di jalur antrian yang tak menentu. Belasan orang pingsan karena berdesakan tanpa mengikuti jalur antrian. Sejumlah orang kecopetan.

Menurut saya, acara seperti ini tak layak digelar di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Dalam kondisi kesenjangan ekonomi, acara ini justru menciptakan kebencian sosial di dalam masyarakat. Apalagi promo BlackBerry ini cukup menggiurkan, yakni bisa membeli BlackBerry dengan setengah harga, dari harga normal sebesar Rp 4,6 juta.

Asumsinya begini. Jika orang miskin melihat orang kaya memiliki barang mewah (seperti BlackBerry), maka ia akan berjuang keras mendapatkannya dengan cara apapun. Di kasus Pasific Place ini, banyak warga yang sudah antri sejak kemarin. Ini terbilang aneh dan bisa disebut penyakit sosial, karena cara seperti ini adalah

Sebaliknya, orang kaya yang sudah memiliki barang mewah (BlackBerry) tersebut, tentu akan berpikir cari untung. Ia bisa mengerahkan dan membayar sejumlah orang untuk mengantri, kemudian nanti ia jual kembali dengan harga normal.

Kericuhan dalam antrian sebenarnya bukan terjadi dalam penjualan ponsel Nexian (tahun 2009) dan BlackBerry type Bellagio (tahun ini). Pemerintah dan instansi terkait juga belum mampu menangani antrian pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjelang Pemilu 2009 serta setiap pembagian hewan kurban. Kondisi serupa terjadi pada antrian laga final sepak bola Sea Games 2011 di Gelora Bung Karno, yang menewaskan dua orang supporter. (Baca: Seharusnya, Pertandingan Final Sepakbola Sea Games 2011 Diawali dengan Mengheningkan Cipta)

Menurut saya, masyarakat tak bisa disalahkan dalam kasus antrian memilukan ini. Masyarakat hanyalah korban dari tak sigapnya penyelenggara acara, yang tak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sedangkan pihak kepolisian tak bersikap tegas menolak permintaan penyelenggara, bahkan merestui acara ini.

Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap kasus ini. Di tengah buruknya budaya antri di kalangan masyarakat, ada baiknya mengeluarkan kebijakan yang lebih manusiawi. Misalnya, pihak penyelenggara cukup memberikan 500 unit BlackBerry ke 500 warga, yang disebar ke banyak tempat pusat perbelanjaan. Toh, pihak panitia (dalam hal ini  Research In Motion-RIM) tak akan merugi, daripada menjual 1.000 BlackBerry tapi bermasalah dalam pendistribusiannya.

Atau bisa juga pihak RIM lebih humanis dalam mempromosikan produknya. Misalnya, jika 1.000 BlackBerry dijual setengah harga, maka totalnya mencapai sekitar Rp 2,3 Miliar. Dana tersebut bisa dialihkan untuk menyelenggarakan koneksi internet di sekolah atau panti asuhan di Jakarta dan sekitarnya. Cara seperti ini lebih manusiawi dan mulia, daripada susah payah mengatur antrian.

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

KompasianaFacebookTwitterBlogPosterousCompanyPolitics |




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline