Lihat ke Halaman Asli

Peraih Emas Sea Games Itu Jadi Tukang Becak

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERHELATAN akbar Sea Games akan digelar beberapa hari lagi. Para pahlawan negara kita sudah siap berlaga demi berkumandangnya lagu ‘Indonesia Raya’. Sayangnya, sebuah kabar getir mengemuka menjelang pesta meriah pembukaan Sea Games.

Adalah Suharto, mantan atlit balap sepeda peraih medali emas Sea Games 1979, kini harus rela berjuang hidup sebagai pengayuh becak. Seperti dilansir lingkarberita.com, pria yang kini berusia 59 tahun itu, pernah meraih medali emas SEA Games nomor Team Time Trial (TTT) 1979 di Kuala Lumpur, medali Perak Tour de ISSI 1977, perunggu pada ROC International Cycling Invitation di China 1977, medali emas Wali Kota Jakarta Utara Cup, perak PON IX/1977 dan sejumlah balapan tingkat nasional lainnya.

Siapa yang tak terkejut dengan kondisi Cak Suharto ini. Dulu, ia dielu-elukan bak ‘Gladiator’ yang mampu menaklukkan musuh di arena peperangan. Kemenangan di arena balap sepeda berhasil menaikkan bendera Merah-Putih dan diiukuti lagu Indonesia Raya.

Tapi, itu dulu. Waktu yang mengubah masa depan atlit Pelatnas era 1970-an ini. Pria kelahiran di Sukodono Surabaya, 18 Februari 1952 itu, memang berasal dari keluarga pembalap. Sang ayah dan kakak memang biasa berlaga di arena balap.

Kini, Cak Suharto tak berdaya menantang zaman. Sejak 1980 atau 30 tahun lalu, ia sudah pensiun dari arena balap. Tak ada jaminan kesejahteraan dari pemerintah. Yang ada hanyalah sebatas janji ‘Angin Surga’ dari Kementerian Pemuda Olah Raga pimpinan Andi Malarangeng dan pejabat-pejabat sebelumnya.

Bagi saya, sosok Suharto merupakan aset Negara yang seharusnya dilindungi dan dibina. Meskipun ia sudah tak berprestasi di arena balap, seharusnya ada penghargaan atas prestasinya selama ini. Di Negara-negara maju, setiap atlit yang berprestasi sudah memiliki jaminan sosial. Bahkan, banyak mantan atlit yang menjadi pelatih untuk mendidik atlit-atlit baru. Tentunya, sang pelatih punya segudang pengalaman yang bisa dibagikan sebagai modal bertanding.

Setiap atlit berprestasi juga memiliki mental juara. Jadi, sayang sekali adanya kabar seperti ini. Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, tentunya ada persoalan mendasar yang dialami Cak Suharto. Setidaknya, terungkapnya kasus ini harus menjadi evaluasi KONI dan Pak Andi Malarangeng, untuk memperbaruhi sistem pembinaan atlit. Jangan sampai ada istilah ‘Habis manis, sepah dibuang’.

Meski demikian, para atlit Indonesia yang sudah terpilih dan mempersiapkan diri di Sea Games tidaklah perlu berkecil hati. Masih ada banyak harapan yang bisa diraih usai Sea Games XXVI. Menang atau kalah bukanlah masalah. Cukup bertandinglah dengan baik. Itulah arti pahlawan sesungguhnya.

Salam Kompasiana!

| KompasianaFacebookTwitterBlogPosterousCompanyPolitics |

Sumber info dan foto di www.lingkarberita.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline