Lihat ke Halaman Asli

Ini Alasan Saya Bergabung ke Partai Demokrat

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="662" caption="Parpol peserta Pemilu 2009: Koalisi atau Musnah menjelang 2014"][/caption]

ADA banyak pertanyaan yang dilontarkan teman-teman kepada saya, setelah saya berbicara kepada wartawan tentang rencana bergabungnya Partai Karya Perjuangan ke Partai Demokrat. Kini, Partai Karya Perjuangan berganti nama menjadi Bakti Karya Perjuangan Demokrat (BKPD).

Lantas, kenapa harus ke Partai Demokrat?

Perlu saya jelaskan dalam sejarah perkembangannya, Partai Karya Perjuangan (sengaja disingkat menjadi Pakar Pangan) didirikan pada 7 Juli 2007 oleh anak-anak muda, dan sebagian besar adalah aktivis era Reformasi’98. Ada jutaan mimpi di benak saya  kala itu, di antaranya merebut eksekutif dan legislatif dari para orang tua.

Sayangnya, mimpi saya dan kawan-kawan di Pakar Pangan kandas di tengah jalan. Kami ‘kalah’ dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009. Meski sempat mampir ke Mahkamah Konstitusi sambil membawa laporan pelanggaran Pemilu, tapi akhirnya, kami harus mengakui keunggulan parpol kompetitor.

Tak lama kemudian dan masih di tahun yang sama, kami bergabung di tim pemenangan Mega-Pro, yakni kandidat presiden dan wakil presiden pada Pemilu Presiden. Kembali, kami kalah. Sedih memang, tapi harus diakui, itulah demokrasi. Pihak yang kalah, harus mengakui keunggulan lawan. Bagi saya sejak saat itu, Pak Beye yang memenangkan ‘pertandingan’ bukan  presiden Partai Demokrat dan koalisinya, tapi juga presiden bagi parpol yang kalah.

Beberapa hari lalu, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyampaikan adanya rencana Pakar Pangan (yang kini menjadi BKPD) sebagai ormas sayap, khususnya menjelang Pemilu 2014. Beritanya ada di TribunNews, berjudul ‘Partai Demokrat Gandeng Pakar Pangan’.

Saya akui, selama ini saya sudah melakukan komunikasi dengan Cak Anas. Meski sempat menjadi kompetitor dalam Pilpres 2009, tapi dalam berpolitik tentunya, tak menjadi halangan untuk bersilaturahmi. Kedekatan saya dengan Cak Anas, bisa dibilang sudah terjalin secara tak langsung sejak aksi Reformasi ’98.

Pertengahan tahun ini, tepatnya pada 30 April 2011, Pakar Pangan menggelar Rapat Pimpinan Nasional di Bali, yang salah satu hasilnya adalah rencana bergabung ke Partai Demokrat. Keputusan ini berdasarkan pilihan dan musyawarah pengurus Pakar Pangan di 30 propinsi. Saya atau siapapun pengurus pusat, tak dapat melakukan intervensi untuk memaksakan kehendak.

Gayung pun bersambut. Cak Anas tampaknya menyambut baik rencana kami. Apalagi tak ada paksaan dalam ‘akuisisi politik’ ini. Sedangkan hubungan kami dengan Tim Mega-Pro, khususnya dengan PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pun tak ada masalah. Istilahnya, kami keluar dari Tim secara baik-baik, sedangkan komunikasi tetap jalan. Aksi politik ini bukan pengkhiatan, apalagi Pemilu sudah berlalu. Jadi, inilah salah satu alasan kenapa Pakar Pangan bergabung ke Partai Demokrat.

Kenapa ke Partai Demokrat yang kini ‘tersandera’ dengan skandal korupsi Muhammad Nazaruddin?

Hal inilah yang menarik, karena keluar dari komentar dan pertanyaan teman-teman saya, lewat media sosial (facebook dan twitter), pesan singkat SMS dan BBM. Memang, saya agak kerepotan menjawab satu per satu. Untuk itu, saya perlu membuat sekilas sejarah bergabung dengan Partai Demokrat.

Faktanya adalah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin, terjadi dua bulan setelah Rapimnas Pakar Pangan di Bali. Saya tak mau berandai-andai tentang sikap kami, jika kasus Nazarudin terungkap sebelum Rapimnas Pakar Pangan. Yang jelas, keputusan Pakar Pangan bergabung ke parpol besar menjelang Pemilu 2014, harus ada karena sesuai AD/ART partai.

Menyesalkah kami memutuskan bergabung ke Partai Demokrat dengan kondisi munculnya kasus Nazaruddin? Tentu tidak. Karena ini adalah sebuah keputusan politik yang sudah disepakati bersama. Ini adalah pilihan dalam berdemokrasi. Proses hukum biarkan berjalan sendiri, tanpa mempengaruhi politik ataupun sebaliknya.

Meski BKPD kami ini masih kecil dan berbentuk ormas sayap, saya tak berkecil hati. Bagi saya, tak ada kemenangan besar yang dilakukan oleh hal-hal kecil. Jika kita tak mampu mengerjakan hal-hal kecil yang dipercayakan, bagaimana mampu mengerjakan hal besar?

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

| KompasianaFacebookTwitterBlogPosterousCompanyPolitics |




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline