ADA yang unik dari berita krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS). Para analis tampaknya berupaya mencari penyebab krisis AS yang mulai berdampak pada ekonomi global. Padahal, pondasi ekonomi negeri adidaya itu selama ini diagung-agungkan oleh kaum ekonom kapitalis.
Setidaknya, hal ini tercermin dari tudingan John McCain, Senator AS dari Partai Republik. McCain menuduh penyebab krisis AS akibat kebuntuan di Kongres AS, menyusul ketidakjelasan rencana Presiden Barrack Obama dalam perencanaan keuangan negara.
Ucapan McCain merujuk pada kebuntuan yang sempat melanda Kongres AS soal kesepakatan kenaikan utang 2,1 triliun dollar AS dan pengurangan defisit anggaran AS sebesar 2,4 triliun selama 10 tahun ke depan. McCain sekaligus membela sikap garis keras Tea Party yang menentang keras kenaikan pajak serta ingin menganulir jaminan layanan kesehatan yang diperjuangkan Obama dan Demokrat.
Sebelum pernyataan McCain, Presiden Obama mengaku telah ketiban ‘sial’ saat memimpin AS. Obama merasa telah mewarisi banyak permasalahan ekonomi, termasuk beban utang dan defisit anggaran pemerintah. Problem ekonomi di Eropa juga turut memberi dampak negatif terhadap perekonomian AS. Presiden Obama mengklaim, perekonomian sudah mencatatkan pertumbuhan lapangan kerja, kenaikan laba perusahaan dan kestabilan sektor kredit.
Entah mana yang benar, Obama atau McCain. Yang jelas, utang AS sudah naik tajam dalam 10 tahun terakhir sejak era kepemimpinan AS di bawah George W Bush. Dari angka utang sebesar 5,8 triliun dollar AS pada tahun 2001, angka itu sudah menjadi 14,3 triliun dollar AS pada tahun 2011.
Menurut Kantor berita Associated Press, utang muncul sebagai dampak negatif dari kebijakan pengurangan pajak pada tahun 2001 dan 2003 oleh George W Bush. Kebijakan ini menyebabkan kehilangan penerimaan negara sebesar 1,6 triliun dollar AS dan ini ditutup dengan utang. Utang tersebut juga menumpuk karena tambahan beban bunga dari utang yang bertambah terus, yakni sebesar 1,4 triliun dollar AS. Utang ini juga bertambah karena bantuan perobatan pada warga AS lewat kebijakan pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2003 sebesar 300 miliar dollar AS.
Sedangkan utang AS di bawah pemerintahan Obama bertambah karena harus ada paket dana stimulus ekonomi negara itu sebesar 800 miliar dollar AS. Ini bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang meledak pada tahun 2008 ketika Bush masih berkuasa. Obama mulai menjabat Presiden AS pada Januari 2009. Di bawah Obama, juga tertumpuk lagi utang sebagai dampak dari sikap kompromis Obama, atas desakan Partai Republik, untuk memperpanjang kebijakan bebas pajak Bush. Dampak dari sikap kompromis ini adalah munculnya utang lain sebesar 400 miliar dollar AS.
Masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab naiknya utang AS ini, seperti dari sektor pertanian dan pertahanan. Porsi terbesar kenaikan utang AS karena murni peran Obama ada pada perjuangannya untuk jaminan health care. Sektor inilah yang oleh Partai Republik diminta untuk dihapus saja. Obama kukuh dan berhasil mempertahankan pengeluaran ini, walau terancam dianulir jika Partai Republik mengambil alih Kongres AS dan Gedung Putih pada pemilu 2012.
Sedemikian parahkah utang AS? Mungkinkah utang AS lunas terbayar? Atau,jangan-jangan ini cuma rekayasa para politisi menjelang Pemilu 2012?
Entahlah. Yang jelas, sampai saat ini Indonesia belum terkena dampak krisis global yang dimulai dari AS itu. Pemerintah RI pun hingga kini bersikukuh, bahwa pondasi ekonomi masih kuat. Tapi, hal itu bukan jaminan dalam jangka panjang, jika krisis global ini terus berlanjut.
Menjelang Lebaran, harga-harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Mudah-mudahan, ini bukan karena imbas dari krisis global. Setidaknya, para pelaku ekonomi di negeri ini harus tetap waspada dan bersikap bijak, dalam menghadapi krisis AS yang berdampak pada Indonesia.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H