[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Sri Mulyani Indrawati (Foto: DHONI SETIAWAN/KOMPAS IMAGES)"][/caption]
Sri Mulyani Indrawati tiba-tiba menjadi bintang beberapa hari terakhir. Bahkan, Managing Director World Bank itu tampil bukan saja sebagai ekonom, melainkan sebagai politisi ulung.
Setidaknya, itulah gambaran media massa yang ‘menggembor-gemborkan’ Sri Mulyani Indrawati (SMI). Sebuah kendaraan politik bernama Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), tiba-tiba muncul di Departemen Hukum dan HAM, untuk mendaftar sebagai partai politik (parpol) baru.Tentu saja, Partai SRI nantinya harus mengikuti aturan main yang masih digodok DPR RI, sebelum bertarung di arena Pemilu 2014 mendatang.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah apresiasi media massa dalam memberitakan SMI dan Partai SRI. Kedua unsur ini menarik disimak dan tampil seksi untuk dinikmati publik. Apalagi, masyarakat tampaknya mulai jenuh dengan berita-berita seputar kasus korupsi yang tak happy ending. Dan, fakta membuktikan figur SMI yang dielu-elukan oleh Partai SRI, ibarat sebuah Angin Sorga tentang munculnya ‘Sang Idola’.
Saya tak mengenal pribadi SMI maupun tokoh-tokoh di Partai SRI, dan hingga kini tak ada niat saya menghidupkan keduanya di pentas politik nasional.
Di tulisanini, saya ingin membaca peta media massa online khususnya kompas.com, detik.com dan vivanew.com spasca-pendaftaran Partai SRI di Depkum HAM. Di situs rating Alexa.com, ketiga situs ini menempati peringkat teratas dari jumlah pembacanya, atau dapat dikatakan sebagai media yang berpengaruh di Indonesia.
Ketiga situs berita ini, cukup banyak menampilkan berita seputar SMI dan Partai SRI, sejak kemarin deklarasi diri hingga berita-berita pro dan kontra sepanjang hari ini. Bahkan, media tersebut menampilkan komentar dari tokoh-tokoh parpol, yang kemungkinan menjadi kompetitor Partai SRI atau pun capres lain.
Di rubrikpolitik vivanews, rubrikdetiknews dan rubriknasional kompas.com, berita seputar Partai SRI dan SMI mendominasi berita-berita politik. Di detik.com misalnya, SMI sempat menjadi trendy topics mengalahkan Kasus Nazaruddin, meski akhirnya tergeser oleh berita KPK dan DPR. Sedangkan di vivanews, komentar mantan Wapres Jusuf Kalla dengan judul ‘JK: Partai Sri Mulyani Memiliki Kendala’ menjadi ‘terpopuler di urutan pertama. Sementara kompas.com, berita berjudul ‘Sikap Sri Mulyani terhadap Partai SRI’ menempati rating tertinggi dengan 64 ribuan pembaca.
Mungkin, itulah sebagian kecil apresiasi media online terhadap fenomena SMI dan Partai SRI. Saya belum sempat meriset media cetak maupun media elektronik (TV dan radio). Di tiga media online (detik.com, vivanewsdan kompas.com) ini, popularitas dan pencitraan SMI dan Partai SRI melambung tinggi, meski ada juga judul berita yang merespon apatis atau negatif.
Fenomena apakah ini? Mungkinkah SMI dan Partai SRI dapat mempengaruhi masyarakat pada Pemilu 2014 mendatang?
Untuk itu, saya coba berkaca/bercermin pada fenomena pasca-reformasi’98. Sejak orde baru (Orba) runtuh, iklim politik di Tanah Air sangat sulit ditebak. Misalnya, setelah Soehato lengser, justru BJ Habibie menjadi presiden. Padahal, kala itu mahasiswa meminta pemerintahan status quo.
Sama seperti kemenangan PDI Perjuangan di Pemilu 1999, justru figur KH Abdurrahman Wahid yang menjadiPresiden. Pun, lengsernya Gus Dur juga tak bisa ditebak, kala itu. Bahkan, munculnya figur baru Pak Beye pasca-mengundurkan diri dari menteri di kabinet Megawati, juga tak dapat diprediksi. Saya masih ingat, Pak Beye belum ‘berani’ menerima dukungan resmi dari Partai Demokrat, ketika masih menjadi menteri. Dan setelah mundur, barulah namanya berkibar oleh peran media massa.
Bisa jadi, kondisi ini akan dialami oleh SMI dan kendaraan politiknya. Semakin banyak ‘serangan’ terhadapnya yang dipublikasi oleh media massa, maka akan semakin kuat pasukan pendukung SMI atau Partai SRI. Pen-zolim-an Partai SRI dan SMI oleh parakompetitor maupun para analis, secara langsung maupun tak langsung, akan menimbulkan empati dan simpati di kalangan masyarakat.
Meski demikian, media massa juga tak dapat disalahkan setelah menjadi corong marketing politik atau bahkan ruang kampanye gratis. Untuk itu, media harus tetap memberitakan dengan objektif sesuai dengan nilai-nilai jurnalisme. Lalu, bagaimana dengan nasib para politisi kompetitor SMI pasca-blundernya menyikapi pra-Pemilu 2014?
Akibat ‘panik’ dan ‘gerah’, para politisi yang menghakimi SMI dan Partai SMI itu, justru menempatkan SMI dan Partai SRI melekat di hati masyarakat. Para analis, blogger, facebookers dan kompasianer seperti saya yang berkomentar tentang SMI, juga berperan memberi bumbu, sehingga SMI memiliki warna yang seksi untuk disimak. Meski, ini kemungkinan dalam waktu jangka pendek.
Apa yang terjadi setelah itu? Kita cuma bisa sabar menanti atraksi politik cantik dari SMI, setelah beliau kembali ke Tanah Air. Kita tunggu saja episode selanjutnya.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H