Lihat ke Halaman Asli

Handphone, Media Cinta Pertama Saya

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ENTAH apa maksud Tim Admin Kompasiana membongkar 'rahasia pribadi' anggotanya, tapi patut diakui, bahwa cinta pertama tak pernah bisa terlupakan, dan perlu dicatat dalam sejarah tiap pribadi manusia. Jadi, inilah kisah cinta pertama saya kepada seorang perempuan, yang akhirnya menjadi istri saya. Terus terang, saya mungkin laki-laki yang kurang beruntung, saat demo mahasiswa menjatuhkan rezim Soeharto. Di saat sebagian mahasiswa terlibat romantisme unjuk rasa besar-besaran di Gedung MPR/DPR pada Mei 1998, saya justru sibuk mengurus keperluan teknis teman-teman mahasiswa di lapangan. Ketika beberapa aktivis mahasiswa di sekitar saya malah menikmati cinta lokasi (cinlok) di lokasi demo, saya malah gigit jari. Kala itu, handphone sudah mulai menjadi trend kebutuhan sosial, sehingga tukar-menukar nomor ponsel bisa menjadi ajang 'pedekate' memulai sebuah hubungan. Saya memiliki ponsel yang lumayan terbilang mewah saat itu, yakni Erricson GF-788. Isi phonebook handphone itu berisi nomor HP laki-laki, dan hanya satu nomor perempuan, yakni Ibunda Tercinta. Tapi, itulah realita yang ada saat itu. Bulan Mei'98 bukan hanya 'kelabu' bagi Presiden Soeharto yang dari kursi empuknya, tapi juga 'kelabu' bagi saya seorang laki-laki tanpa pasangan. Memang, saat itu tak sedikit mahasiswi cantik atau dulu dikenal sebagai 'bunga kampus' yang hinggap di sekitar saya. Apalagi, Forum Kota (Forkot) saat itu, merupakan organisasi mahasiswa ekstra-kampus yang cukup disegani. Meski sebagian aktivis bertampang sangar, tapi kondisi itu justru dimanfaatkan 'bunga-bunga kampus' untuk berlindung dari ancaman pria usil. Apesnya, tugas saya di Forkot lebih terfokus ke urusan teknis logistik dan strategi materi orasi, dan kecil peluangnya untuk aksi larak-lirik bunga-bunga. Meskipun ada, tapi bagi saya, itu bukan tanda-tanda cinta pertama. Singkat cerita, bertepatan dengan ambruknya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998, saya kembali ke rumah. Yang saya ingat, hari itu adalah hari libur nasional, yakni Hari Kenaikan Yesus Kristus. Sebelum saya berangkat ke gereja, ponsel saya berbunyi. Di ujung telepon sana, terdengar suara merdu milik seorang peremuan. Awal pembicaraan pertama, sama sekali tak menyinggung soal runtuhnya Orde Baru. Sang Pemilik Suara, hanya mengatakan, bahwa kampusnya Akademi Sekretaris Tarakanita ingin mengundang saya dan tim musisi acapela yang saya pimpin, untuk ikut menyemarakkan acara internal kampus. Beberapa hari kemudian, hari yang ditunggu datang, dan kami pun siap tampil di Stadion Lebak Bulus. Saat itu, seorang panitia menghampiri saya, menjelang penampilan di atas panggung. Nah, saya baru ingat suara perempuan yang menelepon tempo hari, ternyata adalah salah seorang panitia acara ini. Kami pun bertukar nomor ponsel, sambil berkata, "Kamu adalah perempuan kedua yang masuk di hape saya." Kami pun janjian bertemu setelah acara usai. Ia tersenyum mengembang. Dan, senyumnya masih sama manisnya saat ini, saat saya menulis artikel ini bersama-sama. Happy Valentine Sisca Cicelia Lesmana. GOD bless us. Salam Republik Kompasiana !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline