Lihat ke Halaman Asli

Psuedo Senat dan Revisi UU Pilpres

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di muka bumi ini tak ada kebenaran absolute selain Tuhan. Konstitusi sebagai jantung eksistensi negara pun profan. Jauh dari kesempurnaan absolut, artinya ia terbuka untuk dikoreksi. Apalagi mengamendemen untuk sesuatu yang besar terkait kepentingan hidup dan menghidupi orang banyak . Demi kelangsungan hidup praktek bernegara dari belengu konstitusional. Menyempurnakan dan mengkoreksi sekat dan lubang batang tubuh yang hambat tujuan terpenting dari Konstitusi RI.
Diyakini abstraksi postulat inilah yang melandasi "Aung San Suu Kyii" bersikeras menolak sumpah jabatan di parlemen Myanmar bila akad sumpah jabatan tak diubah. Ia bersikukuh untuk mengganti bunyi kalimat "melindungi dan menjaga konstitusi" menjadi "menghormati dan tunduk pada konstitusi". ini menunjukkan bahwa Ia sangat paham bagaimana mengawali sebuah perubahan harus dilakukan. Ia langsung menusuk jantung eksistensi sebuah negara. Karena di konstitusilah wajah sebenarnya sebuah negara. Tujuan paling asasi tergambar di situ. Wajar bila ketokohan Aung san suu kyii mendunia. Karena Ia Perempuan luar biasa, anti kekerasan dan inspiratif.
Lain Aung San Suu Kyii, lain pula dengan mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputeri. Meskipun sama sama anak tokoh pendiri bangsa dan sama-sama ketua partai. Mega agak konservatif dalam melihat konstitusi RI. Baginya UUD 45 itu sakral, warisan leluhur yg harus dijaga, bernilai kebenaran final. Seolah-olah mengkoreksi UUD 45 berarti mengurangi kadar ketokohan dan bobot sejarah para founding father Republik ini. Publik atau siapapun bisa membaca pesan eksplisit ini. Bukan lagi rahasia umum. Begitu pula dengan almarhum Pak Harto, presiden yang juga amat mengkhawatirkan perubahan UUD 45. Sampai sampai beliau memakai dalih referendum untuk membatasi dan mempersulit kewenangan MPR untuk mengamendemen UUD 45. Dalam artian, untuk ubah konstitusi harus melalui referendum dulu sebagai syarat menuju langkah berikutnya. Gagasan ini Ia lontarkan di depan Rapim ABRI tanggal 2 April 1981di Bandung. Meskipun demikian hal itu tak mengurangi kewenangan MPR seperti termaktub dalam pasal 37 ayat 1 dan 2.
Gagasan pak Harto ini rupanya tak main-main. Referendum pun masuk dalam ketetapan MPR Tap MPR No 1/MPR/1983. Diatur dengan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum. Banyak juga yang percaya bahwa UU No 15 Tahun 1969 tentang Pengangkatan MPR - yang kontraversial serta mengundang banyak kritik- juga berlatar belakang paranoid amendemen konstitusi. Sulit ditafsiri. Apakah ini bentuk lain dari nasionalisme, rasa cinta berlebih, paranoid atau untuk menjaga sebuah kepentingan. Namun ada yang terlupakan pada premis “manusia adalah mahluk sejarah” Ia memang tak bisa lepas dari masa lalu. Namun pada saat yang sama, ia juga akan cenderung kuat untuk menciptakan sejarah karena dialah pelaku sejarah itu sendiri.
Sungguh disayangkan, beberapa fraksi di DPR mendalilkan nasionalisme dengan memagari Konstitusi dari usaha amandemen. Kita bisa membaca sikap Mega dan partainya melalui Fraksi PDIP dan mitranya Fraksi Partai Gerindra di parlemen. Kekhawatiran para politisi nasionalis bisa dimaklumi mengingat sudah Empat kali amendemen masih sisakan lubang-lubang yang menghambat akselerasi proses penyelengaraan bernegara.
Ada ketidaksempurnaan Konstitusi yg menghambat proses penyelenggaraan negara dalam sistem ketatanegraan kita. Konsep Parlemen yang hanya berbasis pada respresentasi jumlah personal. Padahal konsep sebenarnya menurut alur logika berpikir pakem pakem trias politika, selalu berkaitan dengan dua hal yakni merespresentasikan jumlah personal dan space (wilayah). Dewan Perwakilan Daerah yang sekarang ada hanyalah "Psuedo Senat" . Senat yang tidak dipersenjatai dengan fungsi dan wewenang yang selazimnya. Tentu saja, konsekuensi logisnya jadi lain. Pulau-pulau atau daerah daerah yang populasi penduduknya sedikit akan tersisih, terabaikan dan lemah daya tawarnya dalam skema rencana Politik Anggaran. Ini terjadi karena jumlah wakilnya sedikit. Tidak respresentatif. Bandingkan jumlah kursi DPR antara Jawa dan non Jawa. Sulut 6, Gorontalo 3, Sulteng 6, Kalteng 6, Papua Barat 3, Sulbar 3, Bengkulu 4. Sedangkan Jawa, Jateng 76 kursi, Jabar 91 kursi, Jatim 87 kursi. DPD (senator) ada untuk mengimbangi namun minus fungsi aslinya. Celakanya lagi, UU Pilpres juga sistem proporsional dan bukan sistem distrik. Jadi lengkap sudah lubang dan ketidakseimbangan sistem ketatanegaraan kita.
Ubah UU Pilpres
Mengubah UU PIlpres, Siapa takut? Tak ada hambatan konstitusional. Bukankah keduanya berada di ruang dan kamar yang berbeda. Dipisahkan oleh konstruksi konsep trias politika yang telah lama jadi kearifan global. UU Pilpres yang amat mendesak untuk dilahirkan adalah mengganti sistem proporsional dengan sistem distrik. landasan filosofisnya jelas, bahwa Presiden tak hanya mewakili orang (personal) tapi juga daerah (space). Konsep proporsional tidak mempunyai dua kandungan filosofis tersebut. Ia hanya wakili sekumpulan orang. Siapapun Presidennya akan sangat mungkin bertindak gegabah dalam membuat skala prioritas pembangunan daerah tertentu yang selama ini lebih perhatian terhadap daerah daerah berpopulasi padat. Perbandingkan antara jawa, Kalimantan, NTT dan Papua. Ketertinggalannya begitu jauh antara satu dengan yang lain. Bandingkan pula PDB regional Jakarta dengan Propinsi propinsi lain.Dengan sistem distrik, posisi tawar Daerah-daerah tertinggal menjadi naik. Kenapa tidak dicoba dengan sistem distrik untuk Pilpres. Ini untuk penyeimbang Parlemen yang juga tak mewakili (space). Karena DPD belum menjadi Senat yang sesungguhnya.
Presiden yang ada sekarang, juga hanya mewakili jumlah personal. Meskipun dogma etika politik mengatakan presiden adalah milik semua tapi perencanaan politik anggaran (APBN) selalu bersamaan, melekat dengan politik balas budi. Apalagi politik transaksional terlanjur menjadi budaya pop di negeri ini. Bukankah hasil selalu ditentukan dengan seberapa besar kontribusi saudara berikan. Meskipun pemerintah yang berkuasa saat ini menutup dengan Menteri Daerah Tertinggal, tidaklah cukup. Terbukti tidak efektif.
Kasus Tipikor yang membelit Banggar DPR RI ternyata juga sekitar rebutan skala prioritas alokasi dana untuk daerah tertinggal. Inilah potret sesungguhnya implikasi dari sistem pincang yang keluar dari grand theory yang menjadi mainstream (arus besar)
Keniscayaan Amendamen UUD 45
Logika waras kita akan membenarkan bahwa ada korelasi yang amat signifikan antara sistem ketatanegaraan dengan keadilan distribusi kemakmuran ekonomi. Sistem yang baik akan mendistribusikan kesejahteraan lebih merata serta berkeadilan.
.Amendemen UUD 45 adalah keniscayaan yang tak terhindarkan. Merubah UU Pilpres menjadi das sollen (keharusan) untuk menambah bobot legitimasi kedudukan Presiden. Meningkatkan daya tawar daerah secara politik dan mengurangi diskriminasi skema skala prioritas pembangunan daerah dan diskriminasi jatah politik anggaran pada daerah tertentu. Sudah begitu lama kita merdeka, namun masih kita jumpai infrastruktur yang jauh dari memadai. Jalan provinsi tak beraspal dan banyak desa tak berlistrik. Ini terjadi di Provinsi dengan keterwakilan sedikit kursi di parlemen.
Spirit Piagam Jakarta menghendaki sebuah tatanan Indonesia baru yang” Adil dan Makmur” Distribusi dan pengelolaan kemakmuran haruslah berkeadilan. Meskipun untuk dalih skala prioritas dari program rezim pemerintah yang sah dan legitimate sekalipun namun melawan semangat “keinginan luhur dan spirit “melindungi segenap tumpah darah Indonesia adalah bentuk lain dari sebuah penghianatan Negara seharusnya menciptakan kebahagiaan dan harapan di seluruh kepulauan Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline