Lihat ke Halaman Asli

Lulus 100%? Luar Biasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa minggu yang lalu saat pengumuman  hasil  UN  tingkat  SLTA diumumkan, seorang kepala dinas di kota Mataram, lombok habis-habisan dicecar pertanyaan oleh legislatif dan juga dipanggil oleh sang walikota. Apa gerangan yang terjadi, tak lain  karena prosentase kelulusan siswa di kota itu jeblok dibanding daerah kabupaten di propinsi  ini. Jelas kota mataram sangat malu dengan hasil itu karena  Mataram adalah pusat dan barometer pendidikan.  Gedung, prasarana dan fasilitas pendidikan di kota ini juga secara umum lebih baik dari pada  daerah lain.  Sang  kepala dinas berdalih, hasil yang mereka capai adalah hasil yang bermartabat. Jelas tersirat bahwa  dia ingin mengatakan buat apa  lulus seratus persen jikalau diraih dengan cara yang tidak benar.

Melihat  beliau dipojokan seperti itu, tentu  sangat tidak fair karena memang  jalannya  UN  sangat jauh dari   fairness. Dimana ketidakjujuran itu, tentu banyak yang sudah mengetahui  jadi kalau ingin tahu  silahkan   cari sendiri.  Yang agak mengherankan saya adalah  ketidakjujuran dan  kong kali kong semacam ini kok semua di amini oleh  para  pelaksana  kependidikan di semua  tingkat pendidikan, sungguh sangat  ironi melihat kenyataan ini.

Kembali pada  cerita diatas, hal yang berlawanan terjadi hari ini, dimana  kota mataram  menduduki peringkat I dari  seluruh kota dan kabupaten di NTB. Sang  kepala dinas   dengan bangga muncul lagi di  koran lokal dan mengatakan  inilah prestasi  kota mataram yang sangat membanggakan karena berhasil lulus  100 %.  Semua ini diraih dengan kerja keras, yaitu masing - masing  sekolah  telah mempersiapkan murid-murid  UN dengan baik.  Dia sangat bangga  dengan hasil ini dan  percaya diri bahwa  apa yang diraihnya   dengan  sangat fair.

Apa yang dapat kita petik dari dua  keadaan yang  bertolak belakang diatas. Pada saat  dia  kalah dengan  yang lainnya, dia mengatakan bahwa  apa yang diraihnya  dengan cara yang  bermartabat  dan  menganggap  daerah lain  bermain  curang.  Pada  saat   yang  lain, dimana   daerah kekuasaannya  berhasil meluluskan  100 %  dia  langsung mengatakan  itu semua  berkat kerja keras  yang  telah dilakaukan   masing-masing sekolah dibawah bimbingannya.   Justru  dengan keluluesan  100 %  ini,  menjadi bahan   kajian  untuk  mempelajari bagaimana  bisa  dalam ujian  4 mata pelajaran yang diikuti oleh  ratusan  siswa dan semuanya berhasil  lulus. Luar biasa bukan ?  padahal  bagi seorang guru  saat mengadakan  ulangan harian saja, pasti  ada saja siswa yang tidak   tuntas  alias  mendapatkan nilai dibawah  level ketuntasan.

Ada  hal  lainnya yang cukup mengusik  saya adalah  penetapan  10 besar  siswa yang meraih nilai tertinggi. Mereka  berasal dari   sekolah-sekolah yang ---- mohon maaf---- selama ini tidak berprestasi.   Usul saya  sebaiknya mendiknas  melakukan uji petik,  tidak usah susah-susah  ambil saja  lima orang siswa/i  yang terbaik dimasing-masing sekolah  dan lakukan ujian ulang, siapa  yang  benar-benar  hebat akan ketahuan...

Bilamana   sistem ini terus dipertahankan, saya khawatir  sekolah-sekolah  yang      berpegang teguh pada  nilai-niali  kejujuran  akan  terpuruk  dan atau mereka akan  ikut  terbawa  permainan  gila-gilaan ini.  Sungguh saya heran begitu bangganya   mereka  yang bertanggung jawab   dengan  pendidikan  manusia Indonesia ini, mengumumkan hasil yang menggembirakan tapi apa yang diraihnya  dengan cara - cara yang tidak  fair, mau jadi apa   generasi kita kelak????.  Ke depan  guru-guru pun akan  sudah tersandera  daslam memberikan  nilai  raport  karena  mereka akan berpikir dua kali  memberikan nilai raport tidask tuntas pada anak didiknya. Mengapa  ?  karena nilai raport semester  1,2,3,4 dan 5  menentukan  kelulusan siswa nya kelak.

Kalau sistem ini terus dipakai  tahun depan, usul saya  kepada  mendiknas  liburkan saya  semua guru  dan jangan jadikan mereka panitia di sekolah.  Gunakan mahasiswa, atau  siapa saja selain guru  disana yang mengawasi. Maka  Bapak Menteri akan tercengang dengan hasil dan kondisi  pendidikan yang sebenarnya di negeri ini. Distribusi soal  benar-benar dilakukan   dengan sangat rahasia, misalnya  soal dikirimkan  dari  kantor polisi  dipagi  hari  kesekolah-sekolah  walaupun  jam  pelaksanaan ujian harus molor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline