Beberapa minggu yang lalu saat pengumuman hasil UN tingkat SLTA diumumkan, seorang kepala dinas di kota Mataram, lombok habis-habisan dicecar pertanyaan oleh legislatif dan juga dipanggil oleh sang walikota. Apa gerangan yang terjadi, tak lain karena prosentase kelulusan siswa di kota itu jeblok dibanding daerah kabupaten di propinsi ini. Jelas kota mataram sangat malu dengan hasil itu karena Mataram adalah pusat dan barometer pendidikan. Gedung, prasarana dan fasilitas pendidikan di kota ini juga secara umum lebih baik dari pada daerah lain. Sang kepala dinas berdalih, hasil yang mereka capai adalah hasil yang bermartabat. Jelas tersirat bahwa dia ingin mengatakan buat apa lulus seratus persen jikalau diraih dengan cara yang tidak benar.
Melihat beliau dipojokan seperti itu, tentu sangat tidak fair karena memang jalannya UN sangat jauh dari fairness. Dimana ketidakjujuran itu, tentu banyak yang sudah mengetahui jadi kalau ingin tahu silahkan cari sendiri. Yang agak mengherankan saya adalah ketidakjujuran dan kong kali kong semacam ini kok semua di amini oleh para pelaksana kependidikan di semua tingkat pendidikan, sungguh sangat ironi melihat kenyataan ini.
Kembali pada cerita diatas, hal yang berlawanan terjadi hari ini, dimana kota mataram menduduki peringkat I dari seluruh kota dan kabupaten di NTB. Sang kepala dinas dengan bangga muncul lagi di koran lokal dan mengatakan inilah prestasi kota mataram yang sangat membanggakan karena berhasil lulus 100 %. Semua ini diraih dengan kerja keras, yaitu masing - masing sekolah telah mempersiapkan murid-murid UN dengan baik. Dia sangat bangga dengan hasil ini dan percaya diri bahwa apa yang diraihnya dengan sangat fair.
Apa yang dapat kita petik dari dua keadaan yang bertolak belakang diatas. Pada saat dia kalah dengan yang lainnya, dia mengatakan bahwa apa yang diraihnya dengan cara yang bermartabat dan menganggap daerah lain bermain curang. Pada saat yang lain, dimana daerah kekuasaannya berhasil meluluskan 100 % dia langsung mengatakan itu semua berkat kerja keras yang telah dilakaukan masing-masing sekolah dibawah bimbingannya. Justru dengan keluluesan 100 % ini, menjadi bahan kajian untuk mempelajari bagaimana bisa dalam ujian 4 mata pelajaran yang diikuti oleh ratusan siswa dan semuanya berhasil lulus. Luar biasa bukan ? padahal bagi seorang guru saat mengadakan ulangan harian saja, pasti ada saja siswa yang tidak tuntas alias mendapatkan nilai dibawah level ketuntasan.
Ada hal lainnya yang cukup mengusik saya adalah penetapan 10 besar siswa yang meraih nilai tertinggi. Mereka berasal dari sekolah-sekolah yang ---- mohon maaf---- selama ini tidak berprestasi. Usul saya sebaiknya mendiknas melakukan uji petik, tidak usah susah-susah ambil saja lima orang siswa/i yang terbaik dimasing-masing sekolah dan lakukan ujian ulang, siapa yang benar-benar hebat akan ketahuan...
Bilamana sistem ini terus dipertahankan, saya khawatir sekolah-sekolah yang berpegang teguh pada nilai-niali kejujuran akan terpuruk dan atau mereka akan ikut terbawa permainan gila-gilaan ini. Sungguh saya heran begitu bangganya mereka yang bertanggung jawab dengan pendidikan manusia Indonesia ini, mengumumkan hasil yang menggembirakan tapi apa yang diraihnya dengan cara - cara yang tidak fair, mau jadi apa generasi kita kelak????. Ke depan guru-guru pun akan sudah tersandera daslam memberikan nilai raport karena mereka akan berpikir dua kali memberikan nilai raport tidask tuntas pada anak didiknya. Mengapa ? karena nilai raport semester 1,2,3,4 dan 5 menentukan kelulusan siswa nya kelak.
Kalau sistem ini terus dipakai tahun depan, usul saya kepada mendiknas liburkan saya semua guru dan jangan jadikan mereka panitia di sekolah. Gunakan mahasiswa, atau siapa saja selain guru disana yang mengawasi. Maka Bapak Menteri akan tercengang dengan hasil dan kondisi pendidikan yang sebenarnya di negeri ini. Distribusi soal benar-benar dilakukan dengan sangat rahasia, misalnya soal dikirimkan dari kantor polisi dipagi hari kesekolah-sekolah walaupun jam pelaksanaan ujian harus molor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H