Regulator (Menkominfo) sengaja merancukan issue tentang biaya interkoneksi dengan penetapan tarif pungut ke pelanggan.
Kerancuan ini juga sengaja dilakukan oleh operator lain, yang menghendaki tarif interkoneksi turun, sehingga masyarakat menganggap bahwa ketika biaya interkoneksi turun, maka tarif seluler juga turun.
Padahal biaya interkoneksi hanya sebesar 15% menyumbang tarif interkoneksi, dan komponen lainnya jauh lebih besar yakni biaya aktivasi (termasuk promosi) dan marjin keuntungan.
Jika Menkominfo punya keinginan untuk menurunkan tarif seluler, maka seyogyanya minta kepada operator untuk mengurangi promosi tarif Rp 0 atau harga tak rasional lainnya, yang biasanya ada ketika menawarkan kartu perdana baru.
Atau kurangi promosi yang tak efektif dan minta marjin diturunkan, baru tarif seluler bisa turun.
Biaya interkoneksi merupakan cost recovery bagi operator, sementara tarif ritel terdiri dari biaya interkoneksi, biaya aktivasi, dan marjin.
Biaya recovery dibutuhkan operator untuk bisa terus membangun dan menjaga kualitas layanan.
Lucunya, Menkominfo memaksa cost recovery di bawah harga jual, hal ini sama saja dengan menyuruh operator rugi, terutama yang dominan dan sudah banyak bangun jaringan.
Menkominfo harus berani melihat berapa biaya aktivasi dan marjin selama ini. Jika yang seperti ini dianalisa dan dievaluasi secara seksama, maka hasilnya akan terasa ke pelanggan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H