Lihat ke Halaman Asli

Merias Wajah Komunitas Sastra Jombang

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13267484821445577065

Merias Wajah Komunitas Sastra Jombang *

Oleh :Jabbar Abdullah **

Hidup tanpa rintangan bukanlah hidup yang sebenarnya

Seseorang harus hidup dengan api di bawah kakinya

- M. Iqbal, Pujangga Pakistan -

Setiap orang memiliki kecenderungan dan kegelisahan yang berbeda. Kegelisahan lahir dari segala peristiwa yang disaksikan dan dirasakan. Dalam konteks sastra, seseorang yang cenderung menggelisahkan sastra tentu awalnya akan bergerak mencari orang yang bisa diajak berbagi kegelisahan tentang sastra. Upaya berbagi ini kemudian melahirkan pertemuan-pertemuan. Dalam pertemuan itu akan terjadi proses transformasi pengetahuan, apapun bentuknya. Dari sini akan muncul pertanyaan, gagasan apa yang lahir dari pertemuan tersebut, lalu bagaimana caranya agar gagasan tersebut mampu direalisasikan dan dalam bentuk apa? Jika dalam bentuk komunitas, maka pertanyaan selanjutnya adalah sejauhmana pendirian dan keberadaan sebuah komunitas itu dibutuhkan? Dan, setelah ada, terus lapo?

Pertanyaan terus lapo ini menjadi penting dijawab karena nantinya terkait dengan takdir komunitas itu sendiri. Di sinilah ujian yang sesungguhnya dan harus dihadapi oleh pemangku komunitas. Jika pendirian komunitasnya berpijak pada asas pokoke nggawe, maka lebih baik tidak usah membuat komunitas. Jika niatan awalnya adalah “latah” alias ikut-ikutan, maka ada baiknya menahan diri dulu saja daripada nantinya menjadi bahan rasan-rasan tetangga. Dengan kata lain, komunitas adalah identitas. Dan pada saat yang bersamaan bisa menjadi sebuah kuburan. Karena itu, niatan mendirikan komunitas harus dibarengi dengan perbendaharaan data dan strategi untuk – meminjam istilahnya Afrizal Malna – memberi bunyi pada data yang terkait dengan sastra.

Membunyikan dan berbagi Data

Data akan datang dari arah yang tidak pernah kita duga. Pertanyaan paling mendasar saat kita menerima atau memiliki data adalah, terus diapakno?

Memberi bunyi pada data yang kita miliki bukanlah persoalan mudah, meskipun medianya berlimpah. Adakalanya kita kebingungan saat memiliki data yang melimpah. Mau kita apakan data itu? Data itu mahal dan memiliki kekuatan yang besar. Karena itu tidak semua orang atau komunitas akan dengan mudah berbagi data. Kecerobohan dalam mengolah data akan berdampak langsung dengan keberlangsungan hidup sebuah komunitas. Data ibarat zakat. Di dalam data itu sendiri juga terdapat mustahiq, baik personal maupun kolektif (komunitas), yang berhak menerima zakat data.Meskipunpada prinsipnya setiap orang memiliki hak atas apa yang kita miliki, namun orang lain tidak berhak memaksa kita untuk memberikan apa yang kita miliki. Semua dikembalikan pada kesadaran bahwa seseorang atau komunitas itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri, seseorang atau komunitas membutuhkan kerjasama dengan yang lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline