Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | The Land of Tupili

Diperbarui: 7 November 2018   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Prolog
Sudah berapa lamakah kita di laut? Berapa lama lagi sampai ke kepulauannnya? Kaptennya, Hayuti Mansyar, kita akan sampai dalam seminggu lagi. Namaku Soetara Weller, aku adalah seorang penjelajah dan ahli biologi dari Indonesia, tetapi aku berasal dari turunan Belanda dari bagian ayahku. Ayahku dulu bekerja dalam penjajahan Belanda, pada masa itu banyak terjadinya kejahatan yang dilimpah ke bangsaku.

Walaupun ayahku adalah seorang ofisial militer Belanda, dia selalu mempraktekkan dan mengajarku untuk tidak mendiskriminasikan dengan sesama manusia mau dia orang Belanda atau Indonesia; apalagi istrinya seorang Indonesia, itu alasan besar mengapa ia mengajarku seperti itu. Selama masa itu aku belajar di Indonesia. Setelah masa penjajahan, aku bekerja di Indonesia untuk tolong memperbaiki kesalahan bangsa bapaku.

Inilah bukan petualangan pertamaku, biasanya wilayah-wilayah yang aku telah jelajahi hanya ada binatang dan rempah-rempah, tetapi aku juga menemukan beberapa yang dihuni suku-suku kecil. Sekarang, aku dengan kruku yang aku menggaji sedang berjelajah ke sebuah kepulauan misterius di bagian timur Indonesia.

Pertemuan Pertama
Akhirnya kita sampai ke pulaunya, angin paginya sejuk dan basa. Ketika mau mendarat ke pantai, kita dijumpai oleh anak-anak suku pulau, 4 sedang melempar tombak ke kita dan 2 lain sedang menonton. Tetapi ada sesuatu yang aneh dari badan mereka.

Kru buru-buru mencari perlindungan dari tombaknya; Mansyar juga berusaha memutar balik kapal dari pantai, tetapi kegigihanku memaksakan kaptennya untuk mendatangi lebih dekat ke mereka, kru mengira aku gila.

"Grrr!", ia membentak.

Sambil mendekat, aku coba melambaikan bahwa kita tidak berbahaya. Aku sangat berisiko menghilangkan tanganku untuk berdamai dengan anak-anak yang mungkin tidak memahami tandaku; sangat pintarnya aku. Akhirnya, mereka mengerti lambaianku dan berhenti. Saat mau menderat, tahu-tahunya mereka bukan anak-anak namun mereka kurcaci-kurcaci; aku bisa mengetahuinya dari tampaknya bulu ketek dan kemaluan.

2 kurcaci yang dibelakang sebenarnya ibu-ibu, tampaknya dari adanya payudara dan ada yang sedang menyusui bayinya. Ukurannya kurang lebih 1,2 meter, dan mempunyai muka merupa monyet. Hal ini menabjukan kita, kapten Mansyar pun dengan pengalaman lamanya juga kaget. Saat mendarat di pantai, pendekar-pendekarnya mengumpul sekitar kita dengan membidik tombaknya ke kita. Kelihatan dari muka kurcacinya mereka takut dan terpesona.

Secara perlahan, aku turun duluan dari kapal dengan satu tanganku diangkat ke atas dan yang lain menyembunyikan pistol di belakang pundukku. Kemudian aku menyuruh kru untuk juga turun. Mereka ragu-ragu turun dari kapal, kapten Mansyar turun terakhir sambil memegang senapan. Sesudah kami turun dari kapal, kurcaci-kurcacinya menyentuh kita dengan ujung tombaknya, sehingga mereka sedang memeriksa kita

"Apa rencana berikutmu, genius?", kapten Mansyar tanya.

Rencanaku, aku menyuruh kita semua untuk mengjongkok sebagai tanda kepatuhan, hal ini telah menyelamatkan hidupku dari orang-orang suku maupun sama mantan-mantanku. Kurcacinya menurunkan tombaknya. Tiba-tiba, seorang kurcaci dengan cat muka puti jalan berwaspada dan mengalurkan tangannya ke aku. Ia menyetuhnya muka sebelum membilang sesuatuku, tangannya kecil tapi tebal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline