Lihat ke Halaman Asli

Pencabutan SKB Menteri sebagai Salah Satu Solusi Kekerasan Bernuansa Agama

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aksi kekerasan bernuansa agama terjadi di Dusun Pangukaan, Tridadi, Kabupaten Sleman DIY pada hari Minggu 01/06/2014. Bangunan yang dirusak merupakan milik seorang pendeta yang digunakan menjalankan ibadah bersama jemaahnya yang sebagian berasal dari luar lingkungan sekitar, sesuatu hal yang wajar karena tidak setiap lingkungan mempunyai pendeta. Kekerasan dilakukan dengan alasan bangunan belum ada izin sebagai tempat ibadah.

Aksi kekerasan bernuansa agama tersebut mengulangi aksi serupa di Komplek Perumahan STIE YKPN Sleman DIY yang menimpa umat katolik yang sedang melaksanakan doa rosario di rumah Julius Felicius, Direktur Galang Press yang kebetulan sedang mendapat giliran sebagai tempat dilaksanakannya doa rosario pada hari Kamis 29/5/2014.

Kekerasan bernuansa agama bukan hanya terjadi pada dua kasus itu saja. Sudah sering terjadi. Baik terjadi karena alasan tempat ibadah belum atau tidak ada izinnya, menggunakan rumah sebagai tempat ibadah, ataupun beribadah di lapangan yang bukan merupakan tempat ibadah. Kalau pendirian tempat ibadah dihambat dan beribadah di rumah atau di lapangan juga mengalami kekerasan, apa maunya? Dimana ajaran agama yang menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama, bagimu agamamu bagiku agamaku? Dimana peran dan fungsi negara menjamin kemerdekaan warganya dalam menganut agama dan keyakinan serta beribadah sesuai dengan agama atau keyakinannya?

Sudah saatnya keputusan bersama menteri mengenai pendirian tempat ibadah dihapus. Sudah saatnya negara memberikan kebebasan warganya dalam beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya dengan membebaskan warganya mendirikan tempat ibadah, seperti halnya pendirian masjid di hampir setiap perumahan yang dibangun. Apalagi pendirian rumah ibadah yang tidak menggunakan TOA, tidak menimbulkan kebisingan bagi warga di sekitarnya.

Pendirian tempat ibadah akan mengikuti kebutuhan penganut agama atau keyakinannya. Penganut agama atau keyakinan akan membangun tempat ibadah sesuai dengan jumlah komunitasnya. Tidak mungkin penganut agama atau keyakinan membangun tempat ibadah sebesar Istiqlal jika jumlah komunitasnya hanya sedikit, kecuali ingin memboroskan biaya dan mubasir. Sebaliknya, dapat terjadi tempat ibadah dijual karena sudah tidak ada lagi penganutnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline