Lihat ke Halaman Asli

Stratifikasi Sosial Politik meningkatnya Korupsi

Diperbarui: 24 Desember 2024   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Stratifikasi Sosial Politik Meningkatnya Korupsi

Oleh : GURU WAJIHA QUR'AN Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM

202410040110127

Stratifikasi sosial juga dikenal dengan istilah lapisan sosial. Pada konsepnya stratifikasi sosial, masyarakat kita diibaratkan seperti kue lapis. Kue lapis menjadi utuh karena terdiri dari lapisan-lapisan yang membentuknya, ada lapisan yang berada dibawah, ditengah maupun diatas. Begitu pula dengan masyarakat, ada individu dengan beragam latar belakang sosial, politik dan ekonomi tidak pernah berada pada posisi yang sejajar, melainkan bertingkat-tingkat. Dalam hal ini, konsep stratifikasi juga erat kaitannya dengan konsep kelas sosial. Ada individu yang dikatagorikan berasal dari kelas atas, kelas menengah dan jelas bawah. Sama halnya yang terjadi di masyarakat perkotaan.Terjadinya stratifikasi pada masyarakat modern terbentuk karena adanya pembagian kerja yang rinci. Karena tidak semua individu terlahir dari keluarga kaya dengan status sosial tinggi, namun juga ada yang terlahir dari keluarga sederhana bahkan miskin. Karena Stratifikasi sosial memikili 2 sifat yaitu sifat alamiah yaitu secara alami terbentuknya seperti yang ada dilingkungan saya pada saat ini mulai dari keturunan, senioritas, dan pemimpin yang ada dimasyarakat. Lalu stratifikasi disengaja yaitu berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi formal, seperti pada pemerintahan, perusahaan, parpol dan lainnya.

Dalam masyarakat modern yang terus berevousi, sistem stratifikasi sosial sangat diperlukan. Dikarenakan dalam masyarakat yang semakin kompleks maka pembagian kerja juga semakin beragam terutama di masyarakat perkotaan. Karena stratifikasi sosial dapat mendorong sistem pembagian kerja yang efektif dimana individu terbagi kedalam spealisasi-spesialisasi tertentu dalam suatu masyarakat. Stratifikasi juga memungkinkan pekerjaan yang dikerjakan individu menjadi lebih efektif dan waktu yang relatif singkat. Korupsi menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk stratifikasi sosial politik karena dapat memperdalam ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat. Dalam konteks stratifikasi sosial politik, korupsi berperan sebagai pemicu ketidakmerataan distribusi sumber daya politik dan ekonomi, serta memperkuat ketimpangan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial. Korupsi terbukti memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia, baik pada aspek ekonomi, maupun norma dan budaya masyarakat. Sampai saat ini, korupsi merupakan masalah kronis yang umum diderita oleh negara-negara maju dan berkembang di seluruh dunia. Dalam hal ini, semua negara berusaha memberantas kejahatan ini dengan menerapkan langkahlangkah legislatif dan membentuk lembaga antikorupsi sebagai badan pelaksana. Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat korupsi tertinggi, memiliki lembaga antikorupsi yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Einstein & Ramzy, 2020). Indonesia diterpa korupsi parah, menempatkan negara ini pada peringkat terendah Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dilansir Transparency International. Data menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2021 menempati urutan ke-96 dari 180 negara, dengan skor 38 dari 100 (Transparency International, 2020)). Korupsi di Indonesia dapat ditunjukkan dengan banyaknya kebocoran dan realokasi anggaran di berbagai sektor pemerintahan, yang menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, dalam keberhasilan pemberantasan korupsi, dipandang perlu bagi pemerintah untuk membuat regulasi yang memadai yang mendukung upaya penanggulangan secara maksimal. Pemberantasan korupsi sangat mendesak, karena kejahatan ini membawa dampak yang merugikan bagi kehidupan bangsa, bahkan kehidupan sosial masyarakat yang terkena dampak.Tindak pidana korupsi merupakan penyakit sosial yang telah merajalela di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, korupsi bukan hanya masalah hukum semata, tetapi telah menjadi ancaman nyata terhadap sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Artikel ini akan mengulas jenis-jenis korupsi, dampak negatif korupsi terhadap masyarakat dan negara, serta peran Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam memberantas korupsi.

Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran strategis dalam menjaga integritas dan menolak praktik korupsi. Dalam menghadapi tantangan ini, ASN memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk bersama-sama mencegah serta menindak tegas segala bentuk korupsi. Korupsi, sebagai perbuatan melanggar hukum yang merugikan keuangan negara dan pelayanan publik, mencakup berbagai bentuk, seperti suap, nepotisme, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang.

Bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula kemungkinan akan kebocoran. Ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk melakukan perbuatan yang kadang-kadang menggunakan kekuasaannya untuk menambah penghasilannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi pula korupsi besar-besaran bagi mereka yang memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang serakah dan tamak.

Dari data ICW (Indonesian Corruption Watch) menemukan pejabat kementerian atau pemerintah daerah menjadi aktor yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi. Anggota Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah mengatakan temuan ini berdasarkan penelusuran selama semester pertama 2015. "Sebanyak 212 orang berlatar belakang pejabat menjadi aktor tindak pidana korupsi," temuan ini sama seperti semester I dan II tahun lalu yaitu pejabat atau pegawai pemda juga menjadi aktor terbanyak dalam kasus korupsi. Di posisi kedua, ICW menemukan sebanyak 97 pihak swasta seperti direktur, komisaris, konsultan, turut melakukan tindak pidana korupsi dalam semester pertama 2015. Sementara itu, sebanyak 28 kepala desa, camat, dan lurah tercatat menjadi pelaku korupsi. ICW turut menemukan sebanyak 27 kepala daerah telah dijadikan tersangka perkara korupsi dalam enam bulan terakhir. Anggota dewan pun tak luput dari temuan ICW. Sebanyak 24 anggota dewan di tingkat DPR, DPRD, dan DPD juga telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana korupsi baik di kepolisian, kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan modus yang paling banyak dilakukan pada semester pertama 2015 adalah penggelapan sebanyak 82 kasus dengan kerugian negara Rp. 227,3 miliar, sepuluh modus lainnya adalah penyalahgunaan anggaran (64 kasus), penyalahgunaan wewenang (60 kasus), penggelembungan dana (58 kasus), laporan fiktif (12 kasus), suap (11 kasus), kegiatan fiktif (9 kasus), pemotongan (6 kasus), penurunan kualitas (3 kasus), pemerasan (2 kasus), dan pungutan liar (1 kasus). Temuan ini dihasilkan dengan cara melihat seberapa banyak penetapan tersangka dan perkara yang ditangani aparat penegak hukum di tingkat penyidikan (CNN Indonesia, Senin/14/9/15).

Kalau berkaca dari data ICW, hal tersebut disebabkan banyaknya kebijakan-keijakan yang tidak populis, yang dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa, mengakibatkan terjadinya korupsi politik dimana-mana, salah satu bentuk korupsi politik yang sering terjadi adalah adanya modus balas jasa kepada para pendukung dan pendana sang penguasa ketika proses pilkada berlangsung. Salah satu bentuk balas jasa tersebut adalah dengan memberikan proyek dengan penunjukan langsung maupun memberikan proyek yang tidak melalui mekanisme pelelangan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya di negeri kita ini, korupsi pun sudah menjadi masalah yang sangat serius dan sangat mengkhawatirkan karena kasus korupsi sudah memasuki berbagai kalangan, lihat saja data Transparency International (TI) Tahun 2014 dimana Indonesia berada di peringkat enam puluh empat negara paling korup di dunia, entah bagaimana dengan tahun 2015 apakah semakin bertambah ataukah berkurang, kita tunggu saja. Diakui atau tidak diakui budaya korupsi sudah membudaya dalam tata kelola pemerintahan kita bahkan sudah membudaya di tengah-tengah sebagian masyarakat, sehingga untuk mengikisnya memang diperlukan upaya yang sangat ekstra dan kesungguhan yang luar biasa. Yang bisa dimulai dari hal-hal yang kecil tetapi memiliki dampak yang luar biasa, seperti mengajarkan kepada anak-anak kita tentang nilai-nilai moral yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Karena di negeri yang indeks korupsinya tinggi maka yang menderita adalah rakyat jelata, karena hak-haknya sebagai warga negara dimakan oleh kerakusan para pejabatnya. Bagaimana jembatan tidak ambruk karena ternyata anggarannya sudah disunat, bagaimana sekolah tidak terurus karena biaya perawatannya digelapkan, bahkan yang lebih parah lagi korupsi sudah sampai ke hal-hal yang bersifat religius seperti adanya penggelapan dana-dana pembangunan tempat ibadah. Salah satu sikap moral yang patut kita contoh ialah bagaimana moralitas bangsa Jepang dalam menjunjung tinggi nila-nilai kejujuran dan hal itulah yang menjadi modal awal bangsa Jepang membangun kembali negerinya yang porak-poranda dari kehancuran karena dihantam habis oleh dahsyatnya bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat yang meluluhlantakkan Kota Nagasaki dan Hiroshima, menjadi salah satu negeri industri yang terbesar didunia. Budaya kejujuran dari bangsa Jepang ini terlahir dari budaya Bushido yang dianut oleh para pendekar Samurai yang selalu menjunjung tinggi kejujuran di atas segala-galanya.

Berbeda dengan di Indonesia, menurut Soedarso bahwa salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-diam ditolerir, bukan oleh penguasa, tetapi masyarakat itu sendiri. Kalau masyarakat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti para mahasiswa pada waktu melakukan demontsrarsi anti korupsi, maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal, hal tersebut senada dengan pendapat Syed Hussein Alatas bahwa mayoritas rakyat yang tidak melakukan korupsi seharusnya berpartisipasi dalam melakukan memberantas korupsi yang dilkukan oleh minoritas. Karena korupsi itu hanya dilakukan oleh minoritas dan bukan mayoritas. Sedangkan menurut Huntington yang menurutnya bahwa korupsi disebabkan pula oleh budaya modernisasi. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat. Dari jawaban Huntington tersebut dapat disimpulkan bahwa:

  1. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
  2. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru.
  3. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan politik.

Terlepas dari semua pendapat para pakar tersebut di atas kesimpulannya bahwa budaya korupsi akan menghancurkan peradaban suatu bangsa, menghancurkan sistem perekonomian dan yang lebih parah lagi akan menghancurkan mentalitas suatu bangsa terutama kepada para generasi mudanya. Sehingga untuk mengikis budaya korupsi tersebut sedari awal kita sudah harus mengajarkan kepada anak-anak kita, keluarga-keluarga kita, sahabat-sahabat kita, tentang nilai-nilai moralitas yang bernama kejujuran, karena kejujuran suatu bangsa itulah yang akan menjadi modal pembangunan suatu bangsa menjadi bangsa yang besar, maju dan beradab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline