[caption id="attachment_334324" align="alignnone" width="640" caption="pendidikan gratis"][/caption]
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, kang Tamidjo menggerakkan kain lap ditangannya. Ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah lalu berputar-putar tak beraturan. Sesekali kain lap tipis yang semakin tipis karena teramat seringnya dipakai itu dicelupkannya kedalam bak berisi air, diperas untuk kemudian diserahkan kembali kepada “nasibnya”, dicengkeram oleh tangannya yang halusnya seperti kulit jerut purut itu dan diputar-putar mengelap mobil satu-satunya milik Ndoro kesayangannya.
“ Djo, sudah jangan lama-lama olehnya kamu ngelap mobil itu. Pantas saja itu cat mobilnya sampai tipis habis terkikis...”
“ Walah, Ndoro ini bisa saja...Lha wong itu cat mobil habis karena memang sudah waktunya kok. Ndoro sendiri kan pernah bilang kalo mobil ndoro ini usianya sudah hampir setengah abad, lha iya tho... “. Tangkis kang Tamidjo.
Glek, Ndoro Kanjeng menelan ludah mendengar jawaban kang Tamidjo. Sambil beringsut membenarkan duduknya kepada posisi ternyaman agar mudah untuk meraih tempe goreng yang masih hangat diatas piring, Ndoro Kanjeng bersiap beradu argumen dengan sopir kesayangannya itu.
“ Kamu itu lho, saya perhatikan dari tadi kok tidak ada sudahnya olehmu menggeleng-gelengkan kepala. Itu lihat, lap ditanganmu ikut berputar-putar tak keruan kesana-kemari...”.
Kang Tamidjo menghentikan pekerjaannya, menyampirkan kain lap ke bahunya lalu duduk bersila di teras rumah bergaya kuno itu, disebelah Ndoro Kanjengnya duduk tetapi lebih dekat ke arah sepiring tempe goreng yang masih hangat mengepul-ngepul itu. Secepat kilat tangannya menyabet sepotong tempe goreng dan memasukkan kedalam mulutnya.
“ Saya itu pusing Ndoro, prihatin memikirkan bagaimana nasib pendidikan di negeri kita ini “. Ujar kang Tamidjo sambil mulutnya menyumpal-nyumpal memaksa tempe goreng yang dikunyahnya segera masuk ke kerongkongan.
“ Wah..wah..wah..kesambet jin apa e kamu itu Djo, lha kok nda ada hujan, nda ada panas, bisa-bisanya tiba-tiba kamu mikir nasib bangsa “. Kini gantian Ndoro Kanjeng yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Hussh...Ndoro itu, kalo ngomong mbok ya hati-hati. Pakai bawa-bawa jin segala. Lha apa Ndoro itu da pusing, apa Ndoro itu da mikir bagaimana carut-marutnya sistem pendidikan di negeri kita, bagaimana semrawutnya pelaksanaan pendidikan di negeri kita dan bagaimana rendahnya kualitas hasil pendidikan di negeri kita, apa selama ini Ndoro da mikir ? “
“ Coba Ndoro sekarang mulai mikir, dari jaman dahulu sampai sekarang, sekian puluh tahun negara kita merdeka, sebesar apa kemajuan pendidikan yang kita raih ? Coba Ndoro pikirkan itu. Coba Ndoro pikirkan sistem pendidikan kita yang tidak memiliki blue print dan arah yang jelas, bergonta-ganti mengikuti mood pejabatnya. Belum lagi kasus kekerasan yang melanda dunia pendidikan kita yang tak ada habisnya. Lihat saja Ndoro, yang terbaru kasus di TK JIS dan STIP itu. Apa Ndoro da trenyuh ? Da prihatin ? “. Sembur kang Tamidjo kepada Ndoro Kanjeng.
Bola mata Ndoro Kanjeng bergerak bolak-balik mengikuti tangan kang Tamidjo yang juga bolak-balik olehnya “mensabotase” tempe goreng di atas piring.
“ Weleh..weleh..kok pinter kamu Djo.. “.
“ He he...siapa dulu dong Ndoro... Tamidjo githu loh “. Tamidjo cengar-cengir dipuji Ndoronya.
“ Maksud saya itu Djo, kok pinter caramu mensabotase tempe goreng saya “. Sahut Ndoro Kanjeng.
“ Ah Ndoro ini bisa saja “. Kang Tamidjo tersenyum kecut cenat-cenut kena sentil Ndoro Kanjeng.
“ He he... bercanda Djo “. Timpal Ndoro Kanjeng.
Kang Tamidjo memutar duduknya menghadap Ndoro Kanjeng berbarengan tangan kanannya menjulur menggapai sepotong lagi tempe goreng yang masih hangat meski tidak se-mengepul sebelumnya.
“ Betul kan Ndoro apa kata saya bahwa pendidikan di negeri kita sedang mengalami de-orientasi luar biasa, soal pendidikan ini yang membuat saya pusing dan prihatin. Coba bayangkan, tanpa sadar Ndoro, kita ini sudah sukses menciptakan sistem pendidikan ASU “.
“ Hussshh.., ngawur kamu Djo. Mbok da usah ngomong jorok begitu “. Ndoro Kanjeng menjingkat kaget. Sementara kang Tamidjo tenang-tenang saja sambil mulutnya mengunyah tempe goreng.
“ Lha iya tho Ndoro, bagaimana tidak boleh disebut ASU, lha wong apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sekarang ini ya cuma berkutat pada tiga huruf tersebut ; A, S dan U. ASU Ndoro “.
“ Hush..hush kamu ini lho Djo, kok... “.
“ Begini Ndoro, saya akan menjelaskan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya agar Ndoro mengerti “. Kang Tamidjo memotong pembicaraan Ndoro Kanjeng, lalu memperbaiki posisi pantatnya yang agak menonjol keluar gara-gara celana kolor yang dipakainya sudah terlalu molor.
“ Yang saya maksud dengan ASU itu Akreditasi, Sertifikasi dan Uanisasi atau Uangisasi. Yang pertama Akreditasi. Tengoklah Ndoro, sekarang sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi berlomba-lomba dan bersaing mengejar Akreditasi. Seolah Akreditasi menjadi satu-satunya tolok ukur dalam menilai sebaik apa kualitas lembaga pendidikan tersebut. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan membabi buta dalam mengejar status Akreditasi tersebut. Tidak sedikit yang menempuh jalan serta cara-cara yang bahkan menciderai makna pendidikan itu sendiri. Misalnya dengan menyuap petugas atau pejabat terkait, atau setidaknya dengan memalsukan data mengenai kondisi lembaga pendidikan atau sekolah mereka. Benar kan Ndoro ? Coba Ndoro pikirkan baik-baik “.
“ Yang kedua, Sertifikasi. Ndoro perhatikan, sekarang para pengajar sibuk mengurusi sertifikasi. Mondar-mandir, bolak-balik, kesana kemari ; foto kopi ini, foto kopi itu. Sibuk membuat RPP, mengumpulkan absensi dan seabreg kesibukan lainnya yang menyita waktu dan energi yang semestinya digunakan untuk mendidik anak-anak didiknya “.
“ Lha kalau yang itu bukan salah para pengajar dong, sertifikasi itu kan supaya mereka berhak mendapatkan gaji yang juga mereka butuhkan untuk menghidupi keluarganya “. Ndoro Kanjeng menyela.
Hmmmm..., kang Tamidjo menghela nafas lalu sambil masih duduk bersila menegakkan punggungnya sehingga dadanya sedikit membusung.
“ Makanya, Ndoro ini jangan suka menyela kalau Tamidjo sedang berbicara, apalagi ini kan supaya Ndoro mengerti. Yang bilang para pengajar salah itu siapa ? Yang salah itu sistemnya Ndoro, sistemnya. Kenapa juga mesti sistem sertifikasi dibuat dengan begitu rumit dan sangat memberatkan para guru atau pengajar sehingga sampai-sampai mereka harus mengurangi alokasi waktu dan energi dalam mendidik murid-murid mereka. Pusing Tamidjo mikirnya Ndoro, pusing... tapi bener kan Ndoro ? “.
“ Terakhir Uanisasi. Ndoro tahu da, kalau tiba waktunya UAN atau Ujian Nasional, para murid sibuk bukannya belajar mempersiapkan diri, tetapi sibuk kasak-kusuk mencari bocoran soal ujian. Bahkan secara rapi mereka mengkoordinir bersama-sama membeli bocoran kunci jawaban soal dengan cara iuran. Ndoro tahu da, kenapa demikian ? Karena sistem pendidikan kita mengacu pada hasil UAN yang dilaksanakan hanya dalam beberapa hari untuk menentukan lulus atau tidaknya anak didik. Belum lagi soal biaya pendidikan yang makin gila dan aneh. Aneh karena pemerintah menyatakan biaya pendidikan gratis dengan aneka program seperti BOS tetapi kenyataannya biaya pendidikan semakin melambung tak terjangkau. Luar biasa kan Ndoro ? Coba bayangkan kalau sudah begitu apa tidak ASU pendidikan kita ini “.
“ Yang lebih memprihatinkan lagi Ndoro, kalau semuanya sudah sibuk bekerja sama bahu-membahu dalam mewujudkan pendidikan ASU itu “.
“ Lha...maksudnya apa itu Djo ? Saya da ikut-ikutan lho Djo “. Sahut Ndoro Kanjeng sambil mengernyitkan dahi.
“ Coba pikir Ndoro, kalau hanya demi mengejar kelulusan, anak-anak murid itu bahkan lebih sibuk berpikir bagaimana caranya mendapatkan bocoran soal apalagi kunci jawaban ketimbang belajar mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian, bagaimana kualitas pendidikan mereka ?. Lalu Ndoro pikirkan juga, kalau demi anaknya bisa diterima di sekolah yang Akreditasi-nya bagus, para orang tua itu jor-joran olehnya membayar sejumlah uang ke pihak sekolah, apa da gila ?. Trus Ndoro pikir juga kalau para guru dan pengajar itu, demi agar terlihat berhasil dalam mengajar, mereka mengkatrol nilai dan membantu anak-anak muridnya dengan memberikan jawaban saat ujian berlangsung semata-mata agar tujuan mencapai target kelulusan sekian persen tercapai, bagaimana itu Ndoro ?. Terakhir bagaimana juga kalau lembaga-lembaga sekolah menutup mata dan tidak peduli atas praktik-praktik tersebut asalkan tingkat kelulusan ujian nasional-nya memenuhi syarat dan nilai anak-anak muridnya juga diatas rata-rata. Dengan begitu status Akreditasi yang lebih tinggi dapat diraih. Lalu naiknya status Akreditasi tersebut digunakan pihak lembaga pendidikan untuk meraup dana sebanyak-banyaknya dari para calon dan anak didiknya. Coba pikirkan Ndoro, apa da gila itu ? Apa da ASU kalau begitu ? Mikir Ndoro, coba pikirkan semua itu. Lha kalau Ndoro tidak ikut memikirkan dan tidak peduli, apa itu tidak berarti bahwa Ndoro secara tidak langsung ikut mendukung pendidikan ASU itu ? Bukan begitu Ndoro ? “.
Ndoro Kanjeng manggut-manggut mendengarkan kang Tamidjo nyerocos seperti kereta api. Sambil tak henti-hentinya merasa heran bukan oleh kecerdasan anak buahnya sebab Ndoro Kanjeng sudah paham betul bagaimana “mletiknya” pikiran Tamidjo kalau pas lagi waras alias tidak kumat seperti sekarang ini. Ndoro Kanjeng heran bagaimana bisa kang Tamidjo terus nyerocos seperti kereta api yang tak kenal traffic light sementara mulutnya terus-menerus mengunyah tempe goreng tak henti-henti.
Tiba-tiba seekor anjing sambil menjulur-julurkan lidahnya mendekati mobil Ndoro Kanjeng. Tepat disebelah ban kiri belakang, anjing itu mengangkat kaki kanannya, membelakangi kang Tamidjo dan Ndoro Kanjeng yang diam dan memperhatikan, lalu criiiit....mengencingi mobil Ndoro Kanjeng tepat membasahi ban berikut peleknya.
“ Hushhh...dasar asu, kurang ajar “. Kang Tamidjo mengambil kerikil sebesar jempol tangannya dan melemar si anjing. Merasa dirinya terancam, si anjing pun lari keluar halaman menuju gang depan rumah.
“ Kurang ajar...asu, awas kowe...dasar asu “. Kang Tamidjo mengejar sambil tak henti-hentinya mengumpat. Sementara itu Ndoro Kanjeng tertawa terkekeh-kekeh melihat staff-nya berlari mengejar anjing sambil tangan kanannya memegang celana kolornya agar tidak melorot. Tetapi tawa Ndoro Kanjeng terhenti berganti senyum kecut saat melihat tempe goreng yang tinggal sepotong diatas piring, habis dijarah kang Tamidjo. Ndoro Kanjeng pun meraih tempe itu, memasukkan ke dalam mulutnya, dingin.
Ndoro Kanjeng menggeleng-gelengkan kepalanya.
02 Mei 2014, 06:29 WIB
( Selamat Hari Pendidikan Nasional )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H