Lihat ke Halaman Asli

Jumardi Budiman

Insan Budiman

Pemerataan Kualitas Pendidikan: Antara Realita dan Harapan

Diperbarui: 3 Januari 2024   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi Satu Sekolah di Pedalaman Kalimantan Barat. Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021.

Setiap tahun, masyarakat Indonesia selalu memperingati dua momentum penting di Bulan Mei, yakni Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional (hardiknas). 

Berkaca dari pengalaman setiap tahun, peringatan kedua hari besar tersebut selalu diwarnai aksi massa dengan tuntutan yang selalu sama. Hari buruh sedunia yang jatuh tanggal 1 Mei atau yang lebih dikenal dengan May Day di peringati dengan demo para buruh yang menuntut kenaikan upah, tunjangan dan jaminan kerja, sedangkan hardiknas 2 Mei selalu menuai aksi dari mahasiswa yang menuntut realisasi alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, pemerataan pendidikan  atau tuntutan para guru meminta kenaikan gaji dan tunjangan. 

Menarik, karena dua hari besar itu diperingati berturut-turut, lebih menarik lagi karena keduanya memiliki korelasi erat yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. 

Hubungan upah buruh dan tingkat pendidikan kemudian berpengaruh pula terhadap sektor lain hingga membentuk sebuah lingkaran utuh. Ketika satu komponen dalam lingkaran tersebut berubah maka otomatis komponen lain juga berubah. 

Misal, ketika upah buruh minim, maka alokasi dana untuk menyekolahkan anak-anak mereka juga akan minim, akibatnya tingkat pendidikan anak juga rendah. Rendahnya tingkat pendidikan anak membuat potensi sumber daya manusia mereka juga akan kurang. Kurangnya potensi SDM ini membuat mereka menjadi pekerja kerah biru dengan upah yang minim. Demikian seterusnya.

Berdasarkan data yang diramu kompas.id, bahwa tingkat pengangguran terdidik tahun 2023 mencapai 945 ribu orang (kompas.id). Ini baru data yang terungkap, karena kondisi di lapangan jauh lebih memprihatinkan. Pontensi sumber daya manusia Indonesia (dengan gelar sarjana sekalipun) baru dihargai sebatas pekerja rendahan sedangkan para pemilik modal dan pengambil kebijakan adalah investor asing. Fenomena yang hampir sama dengan masa penjajahan saat kaum Kolonial mengeruk hasil bumi Indonesia dengan memanfaatkan kebodohan dan menggunakan tenaga rakyat Indonesia sebagai budak!

Berpijak dari fakta tersebut, dapat dinilai bahwa pendidikan di Indonesia saat ini baru sebatas variabel "Y" yang keberadaan dan kondisinya sangat dipengaruhi oleh variabel "X" dalam hal ini adalah kepentingan ekonomi dan politik. 

Sistem yang diciptakan dan dilaksanankan belum mampu membalikkan keadaan yakni pendidikanlah yang seharusnya menjadi variabel yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi variabel-variabel lain seperti ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Lebih jauh, pendidikan kemudian dijadikan sebuah industri berorientasi profit atau sebuah komoditas yang layak diperdagangkan. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan berkualitas dalam kacamata khalayak ramai identik dengan bangunan mewah, fasilitas lengkap dan tenaga pengajar professional. 

Dalam hal iuran sekolah, tentu tak akan terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Jika demikian, sangatlah tepat apa yang disampaikan oleh Eko Prasetyo bahwa di negeri ini orang miskin dilarang sekolah!! Kalaupun sekolah, hanya sebatas pengenalan ilmu pengetahuan tingkat dasar. Cukup bisa baca tulis dan berhitung. Kira-kira demikianlah prinsip sekolah ala orang miskin. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline