Lihat ke Halaman Asli

Wawasan Kebangsaan: Indonesia Masih Terpuruk

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.

Menurut Ernest Renan bangsa ialah le desir d’etre ensemble atau kehendak untuk bersatu. Sedangkan Otto Bauer mendefinisikan bangsa eine nation ist eine aus schiksalsgemenschaft erwachsene charaktergemeinschaft artinya bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Feith & Castles, 1995).

Kebangsaan Menurut Soekarno

Beda halnya bagi Soekarno, ia tidak sepakat dengan pemikiran tentang bangsa yang dikemukakan para sarjana barat itu. Bahkan Soekarno melabeli konsep kebangsaan mereka dengan sebutan “verouderd”, artinya sudah tua. Dalam pidatonya, Soekarno menyebutkan:

Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu watenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Peolakan Soekarno atas pemikiran tentang bangsa oleh Renan dan Bauer bukan tanpa alasan. Hal itu karena Soekarno memiliki pemikiran yang berbeda mengenai bangsa. Baginya, bangsa (Indonesia) bukanlah sekedar keinginan hidup bersama di atas daerah kecil Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusiayang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Sumatera sampi ke Irian, seluruhnya! (Feith & Castles, 1995).

Namun ada satu poin penting, apapun perbedaan pemikiran tentang kebangsaan yang diyakini masing-masing orang, kita akan tetap sampai pada konklusi yang sama bahwa bangsa Indonesia tengah mengalami persoalan, meskipun kita memiliki cara pandang berbeda tentang bangsa.

Beberapa persolan yang muncul di mana kita mempunyai tanggung jawab untuk berbuat aktif sebagai perwujudan fungsi civil of responsibility akan dipaparkan di bawah ini.

Beberapa Problematika Kebangsaan

Siapa saja boleh bangga dengan sejarah perjuangan masa lalu bangsanya, namun juga perlu berpkir kritis agar tidak terperangkap dalam romanatisme masa lalu sembari melupakan kenyataan yang ada di depan mata bahwa bangsanya kini tengah dirundung pelbagai masalah akut. Fakta yang tampak jelas di sepanjang tahun 2013 lalu adalah kenyataaan bahwa Indonesia masih terpuruk hampir merata di semua aspek.

1.Kamiskinan Akut, SDA Dijarah Asing

Mantan Menteri Keuangan era Orde Baru, Fuad Bawazier, mengungkapkan, 40 tahun lalu pendapatan per kapita penduduk Indonesia setara dengan Korea Selatan, Malaysia, Thailand, bahkan Cina (al-wa’ie, 1-31/03/08).

Tetapi saat ini, angka kemiskinan riil tidak kunjung merangkak naik. Mari melihat data BPS per Maret 2013, ada 28,7 juta orang miskin atau 11,37 persen Angka pengangguran pun tak kalah peliknya, BPS mencatat, pengangguran terbuka ada 7,39 juta orang per Agustus 2013 (6,25%), meningkat 6,14 % dari periode tahun sebelumnya yang berjumlah 7,24 juta jiwa (Al-Islam, 27/12/13).

Di sisi lain, di tengah peliknya angka kemiskinan, kekayaan alam Indonesia yang mestinya dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat sampai saat ini masih dijarah asing. Rektor Universitas Gajah Mada, Prof. Pratikno berkomentar, dilihat dari kepemilikan aset nasional hingga saat ini, sekitar 70-80 persen aset negara jatuh ke tangan bangsa asing. Aset di bidang perbankan misalnya, dikuasai oleh asing leih dari 50 persen. Di sektor migas dan batubara kisaran 70-75 persen, dan telekomunikasi sebesar 70 persen. Ditambah lagi  di sektor pertambangan emas dan tembaga, yang dikuasai asing telah mencapai 80-85 persen (Media Umat, 22/11/13).

Akibat pemerintah salah mengelola kekayaan alam, negara harus rela kehilangan untung hingga triliunan rupuah. Sebaliknya, keuntungan mengalir deras ke kantong perusahaan swasta asing. Padahal menurut Dr. Arim Nasim, dalam kasus PT Freeport Indonesia, negara seharusnya mendapat keuntungan Rp 50-100 triliun per tahun jika mau mengelolanya sendiri. Sebagian besar tambang nikel juga dinikmati oleh perusahaan Jepang karena hampir 53% kebutuhan industri nikel Jepang dipasok dari hasil tambang nikel Indonesia.

2.Konflik Sosial Kian Brutal

Konflik sosial menjadi salah satu persoalan besar yang mengemuka sepanjang tahun kemarin. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kemendagri, jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus, namun meningkat lagi pada 2012 menjadi 89 kasus (Antaranews.com, 25/9/12).

Kasus tawuran juga tak jauh berbeda, dari data yang dihimpun Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanew.com, 28/09/12).

Padahal Pancasila merupakan faktor spiritual yang melengkapi faktor-faktor material seperti besarnya jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan alam, dan posisi geopolitik Indonesia. Kesatuan wilayah merupakan suatu kondisi dan cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat yang didorong oleh keharusan pemenuhan kebutuhannya perlu bekerjasama karena pada dasarnya mereka saling membutuhkan (Imansari, 2013).

Prinsip-prinsip Pancasila meliputi gotong-royong dan ke-bhinnekaan tidak memberikan pengaruh signifikan dalam kehidupan berbangsa. Konsep luhur itu hanya tersimpan rapat di dalam tumpukan buku-buku pelajaran. Kontras dengan kehidupan sehari-hari, budaya kekerasan, konflik antarwarga, antarpelajar, antarcalon kepala daerah tertentu telah benar-benar mengikis habis ide-ide luhur Pancasila itu. Akhirnya tanpa sadar persoalan kecil yang dapat memicu konflik dianggap sepele. Pameo “elu senggol, gue bacok” menjadi lumrah.

3.Benang Kusut Korupsi Tanpa Ujung

Tahun 2013, ketika jagad politik mulai gaduh dengan persiapan menyongsong suksesi kepemimpinan, tanpa sadar euforia tersebut ikut andil menyingkap tabir kelam partai politik. Benar lah jika menurut asumsi publik partai politik adalah lembaga politik paling korup. Karena parpol justru menjadi sarang para koruptor. Indikatornya sederhana saja, para politisi yang dijebloskan ke bui oleh penegak hukum akibat tindak pidana korupsi berasal dari jajaran pengurus teras partai politik. Umpamanya kasus Hambalang yang melibatkan M Nazarudin, yang saat itu menjabat bendahara umum Partai Demokrat. Mantan Ketua Umumnya pun yang tersangkut kasus serupa, Anas Urbaningrum, kini tinggal menunggu pemanggilan paksa oleh KPK setelah dua kali mangkir dari pemanggilan. Tak luput juga dialami Mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq yang tersandera kasus suap kuota impor daging sapi pada awal tahun 2013 lalu.

Ungkapan Thomas Ferguson, Investment Theory of Party Competition (1995) terkonfirmasi, bahwa sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakan-kebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan investor. There is no free lunch. Sumbangan pengusaha kepada partai adalah bentuk investasi yang memberikan return berupa kendali atas negara. Tingginya pengaruh uang dalam kancah politik akan membidani lahirnya plutarchy, yakni penguasaan negara oleh oligarki kaya. (Hendra, 2013)

4.Moral Pemuda Bangsa Kian Rusak

Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya peningkatan secara signivikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada 2007 tercatat 500 jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlahnya melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (Okezone.com, 28/03/2012).

Persoalan seks bebas yang tidak dapat dicegah akan menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks, muaranya adalah maraknya kasus aborsi. Base line survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi per tahun dan sekitar 21 persen (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja. Data yang sama juga disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar, sebanyak 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi (Kompas.com, 14/03/12).

Kesimpulan

Rentetan persoalan bangsa ini tidak akan pernah selesai jika tidak satu pun dari kita peduli dan mengambil sikap. Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa memegang peran sentral dalam memengaruhi serta menjadi sebuah katalisator jalannya pemerintahan (Ben Anderson, 1988). Itu pula yang harus kita lakukan. Memulai satu langkah pasti untuk maju seribu langkah ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline