Ketika humanisme dilihat sebagai sebuah penilaian dari proses untuk menepatkan satu sisi dan memperlakukan manusia dengan lebih sempurna menuju sisi Insan Kamil. Dalam penciptaan manusia harus ada sebuah pertanyaan ;
"Dari mana kita mesti memulai ?"
"Untuk tujuan apa ?"
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengandaikan adanya subjek pelaku yang akan mewujudkan satu tujuan yang hendak dicapai serta merupakan sebuah bukti sebuah pergerakan dari kemauan. Seseorang yang sudah tercerahkan dengan pertanyaan tersebut akan sadar dari keadaannya sebagai manusia (Human Condition). Namun sayangnya intelektual sekarang telah memisahkan diri dari sebuah sisi kemanusiaannya.
HAM merupakan sebuah pondasi yang selalu disandarkan kepada para pelanggar hak asasi manusia itu sendiri, dengan kata lain memang dalam HAM terdapat kebebasan yang menjadi bagian dari Manusia. untuk memahami konteks ini Jeremy Gunn mengemukakan pendapat bahwa identitas sebagai sesuatu yang berhubungan dengan etnisitas, ras,keagamaan atau kebangsaan.
Fokusnya terhadap sesuatu berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi yang membedakan.
Pada dasarnya ketika membahas Humanisme selalu erat akan sebuah keagamaan, ada banyak alasan beragan atas keutamaan ini tetapi yang paling terpenting ialah urgensi atas kebebasan yang menyangkut dalam agama sebagai instrumen terpenting dalam sejarah manusia seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau International Covenant on Civil. Dalam pasal DUHAM yang mengatur kebebasan keberagamaan merupakan sebuah satu hak yang fundamental ;
"Everyone has the right to Freedom of though, conscience and religion; This right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private. To manifest his religion or belief in teaching, practice, worshop and observance".
Manusia, agama, dan negara menjadi tujuan ranah praksis sosial, memiliki sebuah relasi unik jika dipadukan dalam sebuah instrumental yang dihayati serta dijalankan. Namun pada sisi lain terdapat disharmoni sosial yang berlangsung terkadang menimbukan sebuah konsekuensi dalam relasinya dengan realitas sosisal manusia seperti yang sering kita jumpai pada berbagai media maupun peristiwa yang kita alami secara personal.
Secara konseptual hal tersebut dapat diatasi secara positif dengan memakmani rasional dan kemoderatan kita, namun sebaliknya jika diatasi kepada sebuah hal negatif dengan mengandalkan emosional dan radikal menimbulkan sebuah fenomena kejiwaan individu menjadi terimplikasi pada terjadinya suatu proses dehumanisasi dan menodai hak hak sipil.
Dengan memahami bahwa manusia adalah makhluk unik memiliki dual dimension of mind memberikan sebuah ujian penjara manusia........ Lalu bagaimana kita dapat melalui penjara manusia tersebut ?
bersambung part 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H