Lihat ke Halaman Asli

Izmi Nurrahmi

Full Time Mahasiswa / Full Time Traveller

Fake Account untuk Privasi atau Sembunyi?

Diperbarui: 3 Maret 2021   03:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: maxresdefault.org

Media sosial merupakan media interaksi bagi masyarakat di era digital saat ini, lewat media sosial kita dapat berbagi banyak hal mulai dari informasi, edukasi hingga kehidupan sehari-hari. Kehadiran media sosial di tengah masyarakat telah menjembatani kebutuhan bersosialisasi antar masyarakat yang terpisah jarak dan waktu, melalui media sosial seseorang dapat mengetahui kehidupan orang lain lewat unggahan yang mereka lihat pada media sosial dan begitu juga sebaliknya. Lantas, mengapa seseorang membuat second account atau akrab disebut fake account dalam bersosialisasi lewat media sosial? Apakah karena mereka menjaga privasi atau justru merasa perlu bersembunyi?

Sejak awal kehadirannya pada tanggal 6 November 2010 Instagram telah menjadi salah satu media sosial yang berhasil menarik hati para pengguna aktif internet. Instagram yang berasal dari kata "insta" dan "telegram" menjadi media sosial yang memfasilitasi para pengguna internet untuk berbagi foto, video, memberikan komentar terhadap foto atau video dan pilihan untuk menyukai foto tersebut. Para pengguna instagram dapat dengan leluasa memberikan komentar dan menyukai foto ataupun video yang mereka temui pada akun yang mereka ikuti di media sosial instagram ataupun lewat fitur explore yang terdapat pada instagram. Dengan adanya fitur menyukai foto dan kolom komentar membuat para pengguna instagram berlomba memberikan konten menarik demi mendapatkan banyak komentar positif dan disukai banyak pengikut. Hal tersebut di dukung lewat konten-konten instagram para artis yang menunjukan kebahagiaan dengan memamerkan kebersamaan mereka bersama pasangan saat berlibur keluar negeri atau melewati moment romantis bersama yang sering disebut sebagai relationship goals. Ada juga beberapa kalangan yang memilih untuk mengunggah barang-barang mewah yang mereka miliki untuk memamerkan keberhasilan sekaligus menunjukan level sosial mereka. 

Fenomena tersebut diikuti dengan bermunculannya para influencer baru yang dengan mudah menjadi terkenal dan memiliki banyak uang yang dihasilkan lewat akun instagram yang mereka miliki. Hal tersebut tentunya membentuk pandangan bahwa hidup yang layak adalah kehidupan yang bahagia, mapan dan dikelilingi kemewahan. Para pengguna instagram yang mayoritas remaja tentu akan menerima mentah-mentah paparan tersebut. Dari situ, mereka akan membandingkan kehidupan yang mereka miliki dengan kehidupan yang mereka sakiskan di instagram. Saat mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hidup mereka tidak seindah yang mereka lihat di instagram, rasa iri akan kebahagian oranglain akan muncul. Kurangnya keberanian untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya membuat beberapa orang memutuskan membuat second account atau fake account agar jati diri mereka yang sesungguhnya tidak dapat dikenali. Alih-alih menutupi data pribadi, kebanyakan fake account atau akun palsu digunakan untuk menghujat para idola atau akun lain yang mereka rasa tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut. Akun palsu seolah menjadi sebuah tameng untuk berbuat sesuka hati dimana pada akun asli mereka hanya bisa  melakukan pencitraan demi membangun citra seperti yang mereka inginkan. 

Globalisasi media yang semula hadir untuk mempermudah para pengguna berinteraksi secara luas tanpa kita sadari justru telah menghasilkan fenomena baru di masyarakat. Aksi unjuk diri dan berlindung dibalik akun palsu, fenomena ini sesuai dengan ungkapan seorang ahli sosiologi Ervin Govman, dalam teorinya Govman menyatakan bahwa kehidupan hanyalah sebuah rentetan drama dimana didalamnya terdapat dua peran yaitu fron stage dan back stage. Front stage yang merupakan citra yang ingin ditampikan pada masyarakat luas sedangkan back stage adalah keadaan tersembunyi yang tidak ingin diketahui oranglain. 

Lalu apa dampak dari fenomena fake account bagi pengguna internet?

Secara negatif fenomena akun palsu tentu membuat para pemiliknya menjadi orang yang tidak memiliki jati diri yang kuat karena memiliki dua karakter dalam kehidupan. Secara tidak langsung fenomena tersebut telah membentuk karakter manusia yang tidak bertanggung jawab karena bersembunyi dibalik data palsu dan tidak memiliki kepercayaan diri karena tidak bisa menerima keadaan yang sebenarnya yang mana lama kelamaan akan mempengaruhi karakter pemiliknya dalam kehidupan nyata. Namun, secara positif memiliki akun palsu bila diperuntukan secara bertanggung jawab dapat menjaga privasi dari pemilik akun tersebut karena data yang muncul di publik bukan merupakan data asli yang dapat di salah gunakan pihak tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu gunakanlah media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab agar media sosial dapat berjalan sesuai fungsinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline