Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Itu Sangat Memuakan!

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Tumbuhkan Demokrasi dari bawah bukan pancangkan dari atas" (Rudy Bloody)

Melihat tayangan televisi, 24 Desember 2012 pukul 19-00-selesai di TV One dalam acara Debat "Kabar Utama" dengan judul "Pilkada Manfaat atau Mudharat ?" menghadirkan narasumber ; Effendy Ghazaly (Pengamat Komunikasi Politik), Akbar Faisal (Politisi Partai Hanura), Reydonnyzar Moenek (Kapuspen Kemendagri), Romahurmuzy (Politisi PPP), Ayu Azhary (Artis, Mantan Cabup Sukabumi), Umam S. Bakti (Direktur Lembaga Survei Indonesia), Fadjroel Rahman (Pengamat Politik), dan Khatibul Umam Wiranu (Politisi Partai Demokrat).

Perdebatan itu semakin ramai di ruangan itu yang dipandu oleh pembawa acara ; Alfito Deannova Ginttings. Pokok persoalannya adalah demokrasi prosedural seperti kita tilik beberapa waktu lalu pilkada diterapkan di daerah-daerah selama bertahun-tahun entah provinsi, kota, kabupaten yang sangat merogok kocek biaya yang mahal dan mengerikan.

Pemilihan pemimpin daerah sebetulnya dalam ranah demokrasi ala Amerika Serikat, terdapat kelemahan-kelamahannya. Apalagi masyarakat yang awam ini rawan sekali dikibuli, dibohongi dengan iming-iming yang menggiurkan oleh calon pemimpin daerah. Namun, hakekatnya semuanya penuh bualan dan kebusukan !.

Dalam sistem demokrasi-kapitalis, partai memang "harus" concern pada calon pemimpin daerah orientasinya pada kekuasaan. Saat Pilkada mereka berlomba untuk menjadi pemenang baik independent maupun berkoalisi. Lalu ketika kalah ya menjadi oposisi dengan harapan pada pilkada berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya, untuk tujuan itu tidak ada cara yang diharamkan ; semua boleh-money politics, konspirasi, dsb.

Kondisi semacam ini, upaya mewujudkan esensi demokrasi yang adil, transparan dan memperhatikan kesejakterahan rakyat. Ada beberapa opsi yang menginginkan Pilkada itu dihapus saja karena tidak ada manfaatnya, dipihak lain mengatakan kalau Pilkada dihapus rakyat tidak punya hak untuk memilih.

Pertanyaannya apakah dengan itu Indonesia pemilihan kepala daerah diserahkan kepada DPR dan DPRD seperti zaman Orba dan Orla dulu? Apakah harus tidak ada demokrasi dibawah yang tidak seluruhnya bertahkim kepada suara terbanyak hanya menegakan hukum saja seperti di Singapura? Atau seperti di Cina tidak ada pemilihan oleh rakyat, konsisten menerapkan sistem Ditaktor-totalitarianisme? Kita pun tak tahu, kalian pun demikian!

Kalau, seandainya di daerah-daerah gaya kepemipinannya seperti Jokowi dan Ahok yang baru-baru ini terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, turun ketengah-tengah masyarakat banyak face to face bertanya langsung kepada masyarakat mengenai keluhan kebutuhan masyarakat tentunya, rakyat pun akan segan terhadap pemimpinnya.

Jadi, ciri wanci demokrasi saat ini ialah satunya kata dengan perbuatan, suka mentraktir rakyat dengan semboyan muluk dan slogan yang indah. Rakyat sudah muak dan bosan dengan janji-janji hampa, semboyan kosong.

Rakyat sudah muak dan bosan dengan suara luntang-lantung seperti kaleng kosong, yang tak pernah memperbaiki nasib rakyat, malah menjerumuskan rakyat kedalam jurang kebinasaan dan kenistaan. Itu nyata dan senyata-nyatanya keadaan!!!!!!!!!

Maka pesan saya adalah, bagaimana caranya pemimpin-pemimpin Negeri ini bisa memperbaiki kondisi bangsa kita, yaitu "Accountibility" pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat. Bukankah hal yang di tolak oleh kita bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline