Lihat ke Halaman Asli

Maaf, Aku Merokok Malam Ini

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Aku tak kan pernah merokok”, begitulah sumpahku dalam hati–setidaknya hingga beberapa menit yang lalu.

Waktu itu, menakjubkan pikirku bagaimana ketika semua orang tahu bahwa sebuah batang nikotin yang terbakar dapat memenuhi rabu dengan asap dan racun, mereka tetap menikmatinya. Menarik pikirku ketika semua orang yang menghisap batang itu tahu bahwa dengan menghisapnya membuat orang yang membencinya  pun menghirup asapnya, tapi orang-orang itu tetap melakukannya. Lucu melihat bagaimana orang-orang itu berkata ’sayang’ kepada manusia tersayangnya sembari menghisap rokok yang dibakar. Cara menyayangi mereka dengan membunuh pelan-pelan. Unik sekali, bukan?

“Daripada gak merokok lebih baik gak makan”, seorang kawan pernah berkata. Tangannya sedari tadi sibuk mencari lighter yang ternyata lupa dibawanya. Sebatang rokok yang telah dikeluarkan dari bungkusnya pun ia simpan kembali dalam saku bajunya. Ia gelisah tak  bisa meracun. Aku hanya tersenyum.

Kali lain, seorang teman yang baru putus cinta memutuskan untuk kembali bercinta dengan rokok setelah sekian lama berpisah. Tubuhnya yang sekal terlihat tidak cocok–setidaknya buatku–dengan sebatang rokok di tangannya. Kami sedang duduk di bangku taman sore itu, ditemani embusan angin berkisah tentang teman kami yang sedang dibuat tersipu oleh cinta. Ia minta izin untuk merokok  padaku dan kuperbolehkan, toh itu pilihannya dan kuanggap ia sudah dewasa. Tanpa banyak waktu ia nyalakan satu batang, bibirnya menghisap pelan sembari berdesis seolah menemukan kenikmatan di dalamnya. Embusan pertama, asapnya sedikit. Embusan kedua, asap tertiup angin sedikit-sedikit. Embusan ketiga, air mataku turun rintik-rintik.

Mereka selalu berkata bahwa dengan mengepul masalah mereka jadi lebih baik, atau setidaknya merasa lebih baik dengan masalah mereka. Benar semudah itukah masalah pergi? Benar semudah itukah memperbaiki rasa? Aku masih tak mengerti, kupikir itu hanya sugesti.

Mereka tak sadar betapa khawatirnya aku melihat mereka–orang tersayangku–bergumul dengan racun berasap itu. Mereka tak tahu bahwa setiap aku melihat mereka melakukan itu aku selalu merasa gagal untuk membuat mereka mencintai diri mereka sendiri. Aku gagal sebagai seorang anak, teman, atau sahabat atau kasih. Pun mereka tidak sadar betapa jengkelnya aku ketika mereka berkata “ini hakku untuk merokok” , mereka lupa bahwa aku juga punya hak untuk menghirup udara bersih. Lagipula udara tanpa asap rokok pun sudah kotor, kenapa memperparah? kenapa membuatku menghirup racunnya juga? kenapa dan kenapa lainnya yang jika kutanyakan hanya akan berjawab “yaelaah”.

**

Cuaca hari ini tak begitu bersahabat, awan tampak mendung. Ia seperti suasana dalam ruang ini, murung. Hanya aku dan dia yang tersisa dalam ruang yang sempit ini. Ia bersender ke dinding merah jambu itu seraya kaki kirinya menyilang menindih kanannya. Tak jauh di depannya secangkir kopi hitam  menanti diseruput. Ia iri karena sedari tadi orang itu lebih memilih mengepul dengan sahabatnya yang lain daripada dirinya–rokok. Setelah menghela napas panjang, ia menghisap rokok itu, sayup terdengar suara abu terbakar. Bibirnya setengah terbuka ketika ia menikmati aliran asap yang melewati giginya. Matanya memejam.

” Aku pergi. Agaknya memang  lebih baik tanpaku”, ujarnya.

Aku menelan ludah. Ia menghisap rokok dalam-dalam.

“Hari ini aku pusing, setelah percakapan kita pagi tadi. Aku terus-menerus memikirkan itu hingga sore hari. Dan sudah kuputuskan aku akan pergi”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline