Jeddah merupakan kota metropolitan. Penduduknya sangatlah berbeda dengan kota Mekkah dan Madinah yang sudah kami kunjungi sebelumnya.
Di sini kaum perempuan tidak semuanya memakai pakaian yang menutup aurat. Tidak banyak perempuan mengenakan niqab atau cadar. Demikian pula kaum laki-laki, tidak melulu memakai gamis dan kaifiyeh. Mereka banyak memakai setelan kemeja dan celana atau jeans.
Istilah Jeddah menurut sebagian besar orang yang pernah berangkat haji, berasal dari kata "Jaddah" yang artinya nenek. Sebab di sana terdapat makam yang diyakini sebagai makam ibunda Hawa 'alaihassalam. Sumber lain mengatakan bahwa Jeddah berasal dari kata "Jiddah" yang artinya lepas pantai.
Jeddah memang kota yang dekat dengan pantai. Sebagai kota dagang Jeddah memiliki pelabuhan utama yang merupakan sentral perdagangan menuju berbagai negara khususnya negara-negara di wilayah pesisir timur Afrika serta Yaman.
Kota Jeddah sering dijuluki "Babul Asyraf" yang berarti "Gerbang Bangsawan" atau "Gerbang Para Mulia." Julukan ini terkait dengan posisinya sebagai pintu gerbang bagi para peziarah yang hendak menunaikan ibadah haji atau umrah di Mekkah dan Madinah, dua kota suci dalam Islam. Sebagai kota pelabuhan utama di Laut Merah, Jeddah memiliki peran penting dalam menerima kedatangan peziarah dari berbagai penjuru dunia.
Selain itu, Jeddah juga memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan dan pertukaran budaya, yang membuatnya menjadi kota yang dihormati dan dihargai oleh banyak orang.
Saat di Jeddah, saya dan beberapa teman mampir ke sebuah swalayan. Kebetulan sebentar lagi masuk waktu sholat dhuhur wilayah setempat.
Rombongan kami disambut dengan sangat ramah oleh para pramuniaga. Kami dipersilakan istirahat di pojokan swalayan yang memang tersedia karpet yang digelar.
Kondisi di luar sangatlah panas, mencapai 41 derajat celcius. Angin kencang menerpa. Kami pun memanfaatkan kesempatan baik ini untuk sholat. Secara bergantian kami melaksanakan sholat jama' qashar dhuhur dan ashar secara berjamaah.
Yang membuat kami kagum adalah kemampuan berbahasa Indonesia mereka. Cukup lancar dan mampu mempersuasi kami untuk membeli dagangannya.
Tak kalah menariknya lagi adalah para pedagang di sekitaran pertokoan. Kalau di Indonesia dikenal sebagai pedagang kaki lima atau pedagang asongan. Wajah mereka sungguh tidak asing. Iseng saya dekati dan bertanya.