Lihat ke Halaman Asli

Untuk Semua Kebaikan dan Harapan, Antara Kita dan Keterbatasan Kita

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_129560" align="alignleft" width="300" caption="Doa dan Harapan"][/caption] Pernahkah berpikir apapun pasti bisa kita lakukan? Bahwa setiap hal itu pasti dapat kita lewati, bagaimana pun caranya. Halah haram bukan persoalan, yang penting bisa, dapat, tujuan tercapai, selesai. andai saja semua orang punya kemampuan untuk dapat melakukan apapun yang diinginkannya, dapat mencapai setiap tujuannya, setiap harapan dapat diraih, sudah barang tentu akan terjadi banyak kekacauan. Bagaimana jika tujuan antara orang yang satu itu sama dengan tujuan orang yang lain? Kedua-duanya ingin jadi presiden misalkan, dan keduanya mempunyai kekuatan untuk mewujudkannya? Apakah mungkin presiden dibagi dua? Manusiawi memang andai setiap orang selalu ingin mewujudkan apapun yang diinginkannya bahkan dengan berbagai cara, begitu kata sebagian orang. Sebentar? Apakah ini kalimat pembenaran? Manusiawi seharusnya tidak begitu saja dijadikan sebagai alat pembenaran, karena manusia dibekali akal. Hidup ini menjadi indah karena adanya keterbatasan. Kita dan keterbatasan pada hakekatnya adalah sebuah anugrah. Seharusnya memang setiap keterbatasan dapat dimaknai sebagai wujud rasa cinta kasih sang pencipta terhadap ciptaannya. Andai saja semua orang dapat memaknainya semudah itu. ada beragai ekspresi ketika kita mengetahui apa yang menjadi keterbatasan kita. Ada yang dengan tetap semangat mewujudkan apa yang kita inginkan tetapi dengan berusaha menonjolkan sisi lain dari dalam diri yang menjadi nilai lebih. Ada pula yang mengekspresikannya dengan sebuah perasaan rendah diri, minder, merasa diri paling tidak berharga dan akhirnya berhenti berharap. Ini baru manusiawi. Rasa rendah diri, minder, merasa diri tidak lebih baik dari orang lain kadang memang sebuah sikap yang wajar dimiliki. Dari sana kita dapat introspeksi, mengukur diri, dan memang sebaiknya mundur saja andai diri merasa yakin tidak mampu mencapai tujuan. Bukankah dengan begitu kita bisa mencapai makna efektif efisien? Entahlah, lain orang lain kepala, lain pula isi pikirannya. Akhirnya dari semua itu, hal yang bisa kita lakukan adalah bersyukur dan berserah diri dengan tetap berdoa penuh keyakinan. Bersyukurlah andai kita tidak juga dapat mencapai apa yang menjadi keinginan kita. Karena setiap manusia itu pasti ada saja yang tidak begitu mahir dilakukannya, maka hal yang bisa dilakukan adalah berserah diri dan berdoa untuk semua kebaikan dan harapan. Hal tersebut mudah-mudahan dapat memberikan efek positif untuk semua kebaikan dan harapan dalam konteks kita dan keterbatasan kita. Tidak semua harus diwujudkan dalam bentuk hak milik. Akan selalu ada makna dibalik semua kejadian. “fabiayyi alai rabbikuma tukadziban” (Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Q.S Ar-Rahman Ayat 13) ___________________________ Antara saya, harapan dan teropong saya. Sumber Gambar klik disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline