Lihat ke Halaman Asli

Hijrah atau Bertahan

Diperbarui: 15 Agustus 2016   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang manajer di salah satu perusahaan multi nasional sebut saja ADI, baru-baru ini ditawari paket golden shake hand dengan alasan restrukturisasi untuk efisiensi. Padahal perusahaan ini sama sekali tidak mengalami kerugian, bahkan keuntungannya meningkat tajam tahun2 terakhir, dan secara berkala perusahaan ini terus menerus melakukan recruitment pegawai baru. Terlepas dari alasan sesungguhnya yang tidak pernah diungkapkan, baginya tawaran ini merupakan sebuah kesempatan yang harus diambil untuk hijrah dan memasuki babak kehidupan baru yang diharapkan akan menjadi lebih baik.

Masih di perusahaan yang sama, seorang sahabat lain sebut saja TOTO, memperoleh penawaran yang sama tetapi dengan pertimbangan tertentu menolak untuk menerima tawaran tersebut dan sebagai konsekuensinya, ia harus rela dimutasi ke unit lain yang sama sekali tidak sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

Sudah menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah institusi bahwa stakeholders memiliki berbagai kepentingan yang kadang-kadang tidak sejalan. Shareholders barangkali masih memiliki persamaan kepentingan dan sepakat dalam membuat mekanisme yang bisa menentukan arah perusahaan. Majikan dan karyawan pada awalnya barangkali bisa sepakat atas hasil kerja yang diharapkan dan kompensasi yang dibayarkan yang dituangkan dalam kesepakatan kerja bersama. Namun dalam perkembangannya benturan kepentingan ini masih selalu terjadi dan melahirkan berbagai fenomena “adu kekuatan” yang berbau intimidasi, diskriminasi, bahkan pembunuhan karakter.

Musyawarah, etika dan moral tidak lagi memiliki ruang dalam mekanisme mencari kesepakatan. Pola-pola dipinggirkan, seringkali dianggap ampuh untuk membuat orang-orang seperti TOTO “gerah” dan diharapkan segera hengkang dengan sendirinya atau menerima tawaran golden shake hand perusahaan yang mungkin jumlahnya kurang memadai.

Tawar menawar secara kolektif tidak memberikan hasil yang signifikan bagi karyawan pada umumnya. Selain membutuhkan negosiasi yang alot, jalur ini seringkali di kacaukan oleh “gerilya” yang dilakukan para oknum-oknum yang mewakili kepentingan perusahaan untuk memecah belah opini karyawan secara sistimatis.

Bagi perusahaan adalah penting untuk memiliki karyawan yang patuh dan mau “bekerjasama” sehingga lebih mudah untuk diatur dan diarahkan. Pesan ini harus dapat dipahami karyawan secara mutlak khususnya bagi mereka yang senang membangun comfort zone dalam kehidupan karirnya. Mereka cenderung patuh dan menurut perintah atasan serta memilih untuk meninggalkan nurani ketika menghadapi situasi-situasi kritis.

Sementara itu disisi lain, sebagian karyawan yang memiliki kebutuhan untuk terus berkembang tentunya memiliki integritas terhadap profesinya dan nilai-nilai tertentu yang ingin dipertahankan, diperbaiki dan dikembangkan. Mereka biasanya memiliki kapasitas yang lebih baik dan tentunya memiliki argumentasi yang tidak mudah dipatahkan dalam menjalankan pekerjaannya. Sikap kritis karyawan inilah yang seringkali dipandang oleh pemilik modal ataupun pimpinan perusahaan sebagai sesuatu yang merepotkan. 

Bayangkan, mereka selalu kritis meminta pemilik modal dan pimpinan perusahaan untuk dapat menterjemahkan secara logis berbagai kepentingan politis perusahaan agar dapat dipahami para karyawan. Padahal, target-target kuantitatif jangka pendek yang harus dipenuhi para pemimpin perusahaan ini seringkali harus dicapai dengan mengorbankan kesejahteraan karyawan di masa mendatang. Sehingga tidak mungkin bagi perusahaan untuk secara terang-terangan menjelaskan penurunan benefit yang akan dialami karyawan dalam jangka panjang. 

Hal ini diperburuk oleh ambisi sebagian pucuk pimpinan untuk mengexploitasi situasi guna menuai credit point dari pemilik modal untuk kepentingan pribadinya. Mereka yang kritis inilah yang biasanya memperoleh perlakuan yang diskriminatif dan dipinggirkan.

Posisi bertahan yang diambil TOTO dalam kancah adu kekuatan ini sangat menyita energy dan TOTO harus memiliki kecerdasan yang tinggi untuk bisa survive, karena harus disadari kekuatan pemilik modal secara politis selalu berada diatas awan. Kesalahan dalam menyikapi situasi yang sengaja diciptakan perusahaan bisa berakibat fatal, apalagi kalau sampai terperangkap dalam scenario yang di buat perusahaan, . . . alih-alih mempertahankan pekerjaan, bisa-bisa malah jadi terpidana.

Fenomena adu kekuatan antara pemilik modal atau pemimpin perusahaan dan karyawan ini pada hakekatnya merupakan hal yang lumrah dalam mencari bentuk mekanisme yang memungkinkan terjadinya synergy, jika kedua belah pihak memiliki daya tawar yang seimbang. Dalam kenyataannya pemilik modal selalu memiliki daya tawar yang lebih baik dibanding karyawan pada umumnya, apalagi mereka yang aktif memperjuangkan hak dan kepentingannya melalui serikat pekerja, mereka inilah yang seringkali menjadi sasaran empuk “program penganiayaan” yang dilakukan pimpinan perusahaan untuk menyapu bersih mereka yang memiliki gagasan-gagasan kritis yang merepotkan perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline