Oleh Mohammad Sofiyan
Nama sebenarnya adalah Sudrajat Hidayat, asli keturunan sunda. Kebanyakan teman, biasa memanggilnya Drajat atau Dayat. Tapi aku lebih suka memanggilnya Sudra. Orangnya ramah, penuh kasih, dan solider. Tapi kadang-kadang menyebalkan. Pernah aku dipermalukan di hadapan orang banyak. Gara-gara aku enggan mengantar ia belanja sepatu bekas di Pasar Jatinegara.
Sewaktu situasi represif zaman Soeharto dulu, Sudra kerap ganti-ganti nama. Maklum, ia tukang gerakin aksi-aksi massa. Kalau nama aslinya Sudrajat Hidayat ketahuan sama intel, tentu urusannya berabe. Bisa-bisa kontrakannya diobrak-abrik, diciduk di jalanan, atau ditandai wajahnya sewaktu aksi. Ya, minimal rahang kiri dan rahang kanan kena bogem mentah.
Meski nama panggilannya tidak terhitung, aku lebih suka memanggilnya Sudra. Aku sudah bilang berulang-ulang bahwa nama sudra itu adalah nama sebuah kasta terendah di India, tapi herannya ia manggut-manggut tanda setuju. Tanpa protes sedikit pun, ia malah kepingin semua orang memanggilnya Sudra.
Sejak ia tahu makna nama Sudra yang sebenarnya, hidupnya lebih suka berpindah-pindah. Ia tidak suka menetap di satu tempat.
“Rumahku adalah telapak kakiku. Di mana ia berpijak, di situlah aku berteduh.”
Ungkapan filosofis itu selalu dijadikan pembenaran baginya untuk menyudahi nasehatku. Sepertinya ia telah termakan oleh mitos Jawa lama yang mengatakan bahwa nama merupakan cermin kepribadian seseorang. Pun gaya dandannya, tidak seperti remaja kebanyakan pada zamannya. Ia lebih suka memakai sandal jepit, celana robek, dan jaket blue jeans yang lusuh. Padahal, sebagai anak seorang pejabat eselon dua, ia bisa membeli model pakaian yang lagi trend. Tapi dasar Sudra, ia mengaku lebih nyaman dengan apa yang dipakai. “Kita dilihat orang bukan karena penampilan, tapi dari isi tidaknya otak ini,” kilahnya ketika kuberikan saran.
Sejak Soeharto dipaksa mundur oleh mahasiswa, aku terputus kontak dengan Sudra. Bahkan semua teman-teman yang kutemui juga tak tahu keberadaan Sudra. Asumsi pun bertebaran dari mulut teman-teman. Ada yang bilang Sudra diculik menjelang Soeharto jatuh. Ada juga yang memprediksi kalau Sudra bertapa di gunung dan mengikat saudara dengan Embah Marijan. Ada lagi yang mengatakan mati terbakar saat kerusuhan melanda Jakarta.
Hampir putus asa aku mencarinya. Tapi aku teringat dengan kata-katanya kala ketemu terakhir di Stasiun Tebet. “Aku paling mudah ditemui. Carilah aku di antara mereka yang teraniaya. Aku selalu merasa nyaman dan aman berada di tengah mereka yang terpinggirkan,” ujar Sudra, waktu tak sengaja bertemu sedang makan lontong dan bakwan menunggu kereta datang.
Berbekal kata-kata di pertemuan terakhir itulah aku mulai mencari Sudra. Di waktu senggang, aku selalu menyempatkan mandatangi perkampungan kumuh, kontrakan buruh, hingga pemukiman nelayan yang biasa diterjang air pasang. Tiga tempat itu disukai Sudra untuk menetap. Tapi tetap tidak kutemukan jejak Sudra di situ. Aku sempat berpikir, mungkin apa yang diasumsikan teman-teman tentang keberadaan Sudra bisa jadi benar. Belum sempat aku berpikir jauh lebih aneh, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang tidak asing di telingaku. Ya, suara Sudra dari balik kaca mobil sedan. Baru dua jengkal kakiku melangkah, Sudra turun dari mobil sedan, dan menghampiriku. “Mau kemana kau jalan kaki tengah hari begini,” ujarnya.
Dengan nada setengah tidak percaya, aku menjawab gugup. “Engkau kah Sudra?”