Lihat ke Halaman Asli

Ayo Dengar Radio

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

…..Dasar air mata buaya. Kamu tahu tidak, buaya itu selalu menangis setelah makan ternyata bukan menyesal karena telah memakan mangsanya. Melainkan buaya itu menangis untuk  mengeluarkan kelebihan garam pada tubuhnya, melalui air matanya. Karena setelah ia memakan, kelenjar garam bertambah di tubuhnya, dan untuk mengeluarkan kelebihan garam tersebut ia lakukan dengan cara menangis…..

Demikian salah satu isi pesan yang diproduksi Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) yang diputar di seluruh radio swasta di Banten. Penggalan iklan layanan masyarakat yang sarat informatif dan edukatif tersebut sengaja diputar di seluruh jaringan radio PRSSNI, sebagai bagian dari gerakan Ayo Dengar Radio.Selain pesan di atas, ada satu lagi pesan ajakan mendengar radio yang diproduksi PRSSNI. Yakni berisi tentang seorang lelaki yang berbicara dengan kekasihnya. Saat ditanya si lelaki tersebut matanya melirik ke arah kanan. Kata kekasihnya, bahwa secara psikologis mata seseorang yang mengarah ke kanan saat ditanya kecenderungan berupaya menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya atau berbohong. Sebaliknya jika mengarah ke kiri, ia mengungkapkan hal yang sebenarnya tanpa beban. Karena otak kanan berisi kreativitas sedangkan otak kiri berfungsi menyimpan memori. Jadi kecenderungan mata seseorang yang melirik ke kanan saat ditanya itu berpotensi berbohongnya tinggi.

Dua pesan di atas yang bertema perselingkuhan tersebut diproduksi PRSSNI untuk menggalang gerakan Ayo Dengar Radio.Pertanyaannya kemudian terbersit di kepala saya, kenapa PRSSNI begitu gencar membuat gerakan Ayo Dengar Radio? Sehingga dua iklan tersebut diputar serentak di seluruh radio di Banten. Seberapa pentingkah mendengar radio bagi masyarakat. Ataukah keberadaan bisnis radio sudah mulai tertinggalkan ditelan serbuan teknologi informasi yang mengindustri di negeri ini? Baiknya kita telaah fungsi radio secara utuh dan tidak sepotong-sepotong. Di bawah ini saya menguraikan perkembangan radio berdasarkan empat fase sejarah. Mulai dari fase pra kemerdekaan, Orde lama, fase Orde Baru, hingga fase reformasi.

Alat Propaganda
Secara historis, peran radio dalam proses kemerdekaan negeri ini begitu signifikan. Pada fase prakemerdekaan, radio berperan sebagai alat propaganda Belanda untuk membodohi rakyat Indonesia atau bangsa hindia Belanda. Siaran radio yang pertama kali mengudara di Indonesia adalah Bataviase Radio Vereniging (BRV) di Batavia atau Jakarta. Radio di zaman itu dijadikan alat untuk melaporkan potensi dan perkembangan hasil rempah-rempah yang dibawa oleh VOC. Radio juga dijadikan alat untuk menyebarkan undang-undang dan peraturan hukum Belanda yang diberlakukan bagi bangsa hindia Belanda. Radio juga digunakan sebagai psywar atau perang urat syaraf mengenai canggihnya persenjataan militer Belanda untuk menakut-nakuti gerilyawan pejuang Indonesia.

Sejak BRV muncul, lalu berdirilah banyak stasiun radio swasta di Jawa bak jamur yang bertumbuhan selepas hujan. Pesatnya perkembangan radio membuat keuntungan sendiri bagi badan-badan radio buatan Belanda dengan menerapkan system pajak radio. Melalui pajak radio itulah kemudian badan-badan radio Belanda memiliki modal untuk memperluas pancaran siarannya. Sehingga Indonesia pada saat itu menjadi pasar radio terbesar di Asia, radio menjadi barang yang mewah dan menjadi salah satu prestise social yang tinggi bagi pemiliknya. Melihat dahsyatnya pengaruh radio, membuat kaum pergerakan menyusup ke sejumlah radio swasta Belanda. Tujuannya mempelajari secara teknis hingga menguasai radio sebagai alat untuk menyebarkan semangat perlawanan kepada rakyat. Sehingga saat itu bermunculan radio swasta yang dikelola oleh kalangan pribumi.

Pesatnya perkembangan radio di kalangan pribumi membuat Belanda terancam, kemudian Belanda melakukan represi terhadap kalangan pribumi yang menyiarkan perlawanan melalui radio. Melihat gelagat buruk tersebut, pada tanggal 29 Maret 1937 sejumlah wakil radio pribumi membentuk organisasi Perikatan Perkumpulan radio Ketimuran (PPRK). Salah satu tujuan terbentuknya PPRK adalah memajukan keseniaan dan kebudayaan nasional guna kemajuan masyarakat Indonesia, rohani dan jasmani, sekaligus sebagai alat propaganda perjuangan.Di zaman penjajahan Jepang, radio juga dijadikan alat propaganda. Jepang menggunakan siaran radio sebagai alat psywar terhadap negara-negara Asia yang hendak dikuasainya. Dampak dari siaran radio tersebut membuat Belanda kalah sebelum bertempur dengan Jepang pada tahun1942. Sehingga satu persatu daerah dikuasai Jepang dan Belanda terusir dari Indonesia.Di fase orde lama, radio juga dijadikan alat propaganda oleh Soekarno. Yakni bertujuan untuk menyebarkan nasionalisme. Karena memang Indonesia yang memiliki ribuan pulau dan beraneka ragam bahasa dan budaya harus dipersatukan dengan paham nasionalisme.

Pergeseran Nilai
Awal orde baru, radio dijadikan alat untuk menyiarkan sejumlah keberhasilan pembangunan proyek mercusuar Soeharto, yang didapat dari hasil berhutang ke lembaga donor internasional. Siaran radio harus mendapatkan izin dari pemerintah. Jika ada siaran radio yang berseberangan dengan pemrintah Soeharto, maka umur radio tersebut tidaklah panjang. Radio dijadikan corong penguasa untuk memperpanjang umur kekuasaannya. Sistem siaran yang represif itu membuat praktisi radio mencari jalan aman. Yakni lebih baik mengarahkan program siaran hiburan ketimbang menyiarkan pertentangan dengan pemerintah. Akibatnya masyarakat menjadi hedonis, apatis, dan apolitis. Fungsi radio menjadi bergeser. Pergeseran nilai itu menyuburkan industri telekomunikasi, yang pada akhirnya radio menjadi alat bisnis entertainmen para pemilik modal lokal. Dampaknya masyarakat menjadi obyek yang sangat efektif untuk mengakumulasikan modal. Lalu bermunculan program hiburan hingga kuis berhadiah yang menumbuhkembangkan sector industri lain di luar industri telekomunikasi.

Memasuki era pertengahan 90-an, perkembangan radio mengalami mati suri. Itu terjadi akibat munculnya industri televisi. Cakupan industri hiburan lebih meluas, dan membuat masyarakat lebih terhibur karena televisi memberikan visualisasi yang memadai. Pesatnya perkembangan industri televisi membuat banyak pemilik modal lebih memilih televisi untuk mengiklankan produknya. Pada fase inilah radio seperti barang usang yang hanya enak didengarkan pada suasana tertentu saja. Sehingga tidak sedikit industri radio yang terpuruk. Kalaupun masih ada yang eksis, berjalan dengan nafas yang engap-engapan. Karena bagaimanapun salah satu nyawa agar radio tetap eksis adalah modal yang didapat dari iklan.

Terlepas terpuruk atau tidaknya bisnis radio tersebut, patut diapresiasi gerakan Ayo Dengar radio yang dilakukan PRSSNI. Karena mengembalikan fungsi radio yang bukan saja sekadar mendulang iklan, melainkan memberikan informasi yang positif bagi masyarakat. Informasi yang membuat masyarakat tercerdaskan. Semoga gerakan Ayo dengar radio terus konsisten dilakukan PRSSNI dalam memberikan informasi berimbang mengenai gejala sosial yang berkembang di masyarakat. Sekaligus ikut mewujudkan cita-cita pendahulu negeri ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Melainkan tidak sekadar ingin membuktikan kepada para pemilik modal bahwa radio masih punya pangsa pasar yang jelas. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline