“Kita tak perlu kemewahan untuk membuat hidup kita itu indah, yang terpenting adalah kita saling ada untuk satu dan yang lainnya, dan kita saling membuat kita selalu nyaman di mana pun kita berada, itulah yang aku impikan darimu suamiku,” ucapmu kala itu, seakan kamu mengerti kegundahan hatiku yang merasa tak mampu memberikan tempat terbaik bagimu. Rumah kita ini cukup kecil, tapi kau mengatakan “rumah kita cukup mungil”, kamu memilih kata “mungil” karena memang terkesan lebih indah dan lucu dari pada kata “kecil”.
Waktu itu malam telah larut, tapi kita berdua masih duduk di atas sejadah lusuh yang wangi, mukenamu sudah tampak pucat tapi sinar purnama memberikan kesan berbeda ketika ia membalut tubuhmu, kamu begitu anggun dan senyummu membuat semesta tampak ceria. Semesta itu adalah hatiku.
Di atas langgar kecil yang tak berdinding, yang kita bangun di belakang rumah mungil kita, aku masih ingat ketika kita membangun langar itu, kamu menanam bunga-bunga mawar disekelilingnya, dan tak lupa menitipkan bibit melati ke bumi di pojok surau panggung kita, hingga pohonnya merambat ke tiang penyangga surau itu.
“Di sini kita shalat, disini kita bercerita tentan cinta dan keagungan Allah yang tersirat dalam segala ciptaanNya. Di sinilah suamiku, kita menyelesaikan masalah kehidupan dan kerumitan dunia ini. Di sinilah kita berdua akan berdoa memohon ridho dan kasihNya agar kita senantiasa bersama-sama menghadapNya di surga nanti”, kata-kata itu mengalir lembut dari kedua bibirmu yang tipis nan mempesona, menyentuh jiwaku yang paling dalam.
“Nanti jika saatnya tiba, pemandangan taman kecil ini akan menjadi cerita kecil kita ketika bermesraan di surga, di surga kita juga akan bercerita tentang bagaimana kita sampai ketempat terindah itu melalui taman kecil ini, bunga-bunga ini juga akan menjadi saksi betapa kita selalu berusaha menjadi hambaNya yang terbaik, marilah suamiku.......kita bangun rumah tangga kecil ini seindah taman kecil ini”. Ucapmu kemudian.
“bagaimana kalau kita sebut taman ini taman yang mungil..?, seperti kita menyebut rumah kita rumah yang mungil,”. Tanyaku ketika itu. engkau hanya mendesah dan tersenyum kemudian mengecup keningku dengan kelembutan sikapmu.
“Taman ini akan indah walaupun tanpa kata mungil, taman yang kecil itu kumaksudkan sebagai keindahan yang kecil, tapi taman ini akan menjadi keindahan yang besar jika kita sudah mengerti tentang keindahan itu sendiri,”
“aku tak mengerti istriku...?, bahasamu sulit kupahami bisakah kau sederhanakan?” tanyaku ketika itu, lagi-lagi kau membuatku seperti anak kecil yang sedang merajuk memohon penjelasan.
“Jika kata indah selalu disederhanakan maka akan kehilangan keindahan dan kedalaman maknanya, cukuplah kamu merasakan tiap-tiap kata-kata itu, seperti kamu merasakan kopi, bukankah kamu bisa membedakan kata manis dan pahit dalam kopi itu?”. aku rasa kata-katamu yang terakhir tak butuh konfirmasi. Aku cukup mengerti maksudmu. Aku semakin mengagumimu, aku selalu bersyukur betapa Indahnya Allah memberikan cintaNya berupa dirimu dalam hidupku.
***