Lihat ke Halaman Asli

I WayanArtika

Pegiat Literasi

Guru Sejati, Mengajar Diri Sendiri

Diperbarui: 10 Juli 2019   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada periode panjang negeri ini, guru terpuruk karena identik dengan pekerjaan untuk orang miskin. Lewat sosok guru Omar Bakrie yang menjadi tokoh lagu berjudul sama, Iwan Fals menyenandungkan balada tentang hidup pahit guru. Negara pun menghibur para guru di Indonesia lewat Himne Guru, seolah ingin mengkompensasi kemiskinan itu dengan predikat "Pahlawan tanpa Tanda Jasa".

Namun, negeri ini tidak pernah kekurangan guru. Dulu sekolah guru setara SMA selalu penuh terisi siswa calon guru SD. Pun fakultas keguruan dan perguruan tinggi kependidikan tidak pernah kekurangan mahasiswa. Jangan-jangan, guru itu bukan profesi yang bisa dilatih namun selebihnya adalah bawaan lahir. Maka sepanjang peradaban suatu bangsa selalu lahir para guru dalam kehidupan ini.

Sepahit apa pun Iwan Fals menyanyikan baladanya dan sesedih apa pun rasanya saat menyanyikan Himne Guru, tetapi guru-guru sejati tetap lahir dan mengabdi bagi murid-muridnya. Guru sejati memang tidak banyak. Di sebuah SMP di Temanggung, Ibu Siti Fauzanah atau akrab disapa Bu Yan seorang guru dengan kegigihan dan puncak pengabdian satu-satunya dalam hidupnya, mengajarkan matematika hingga banyak siswanya di antarnya ke ajang olimpiade internasional dan memasuki gerbang almamater universitas beken di Indonesia, sampai meraih jenjang pendidikan doktor.

Ibarat seorang rahib, ia menjalani hari-hari di sekolahnya di tengah "sunyi" sosial karena dia seperti tidak mau tahu gunjingan-gunjingan rekan guru yang sesungguhnya tidak menjadi guru secara total. Semua tindakannya bersumbu pada kedalaman jiwa untuk mengajarkan matematika kepada para siswanya, sebagai jalan hidup masa depan yang diretasnya. Hingga masa pensiun pun, Bu Yan tetap mengajar di Puskesmas Matematika yang dirintisnya.

Di Tabanan, sastrawan modre I Gusti Putu Bawa Samargantang adalah seorang guru sejati dengan kesetiaan yang tidak ada tandingannya berjalan di atas sepeda jengki meretas jarak dan jalanan kota, menempa budi para remaja melalui sastra dan teater. Semua yang dikerjakannya dalam bidang yang dicintainya adalah bagian terbesar dari laku hidupnya dan laku ini dijalankan sampai ia berjumpa dengan para murid dalam kehidupan. Sungguh berkah bagi para murid yang pernah berguru padanya.

Entah karena apa, sedikit ironis memang, guru sejati Bawa Samar Gantang menjalani dunia sunyi di ruang guru, teras sekolah, dan ruang kelas yang gempita. Terlalu sedikit siswa atau rekan guru yang bisa menemukan dan menangkup kesejatian dirinya. Pun karena ia tidak ingin jemawa dan karena tuah kebijakan padi atau kerendahan hati, kesejatian seorang guru tetap bergolak dalam jiwanya.

Kesejatian diri seorang guru I Putu Sudibawa, dari SMA 1 Sidemen, Karangasem adalah ketika ia menjawab tantangan besar bahwa mata pelajaran kimia itu sangat sulit. Ia menjawab tantangan itu dengan menyulap pelajaran kimia di tangannya menjadi mudah, menyenangkan, dan disukai siswa.

I Putu Sudibawa mendekonstruksi satu pandangan yang keliru dan menghambat siswa sampai ia berhasil mengajarkan pelajaran kimia dengan mudah, bahkan pada sekolah di desa yang sudah tentu tanpa fasilitas laboratorium. Umumnya guru suka berkilah dan menyalahkan kemiskinan, kebodohan siswa, dan keserbatiadaan sarana pendukung dan dibumbui lagi dengan keangkuhan bahwa mata pelajaran kimia ini sangat sulit, dijadikan legitimasi untuk tidak bertindak.

Baca juga:  Makna Kompetisi bagi Sekolah

Tapi bagi seorang guru sejati, ia terlebih dahulu, sebelum mulai mengajar, mengenali lingkungan dan para murid. Maka dengan demikian, pelajaran dan usaha seorang guru sejati dalam bekerja, jauh mendahului perjumpaan formal di ruang kelas dengan kegiatan belajar serbasemu.

Selebihnya, kesejatian I Putu Sudibawa adalah ketekunan belajar melalui penelitian yang dilakukannya, menjadikan dirinya hadir sebagai guru yang tidak lagi menjadi talang air atau media penyampai pesan dari buku pelajaran yang buruk kepada siswa yang tidak bergairah. Laku inilah yang tidak ada pada umumnya guru yang riwayat belajarnya sudah tamat ketika mengajar secara formal di kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline