Gunung meletus, gempa, tsunami, tanah longsor, badai, dan banjir bandang, bertubi-tubi mendera tanah air tercinta. Selama ini pandangan religius digunakan untuk memahami setiap bencana, yang tentu saja adalah cobaan atau bahkan hukuman Tuhan, sebagaimana dalam lagu Berita kepada Kawan (Ebiet. G. Ade).
Akhir-akhir ini pandangan religius tersebut juga berdampingan dengan pandangan ilmiah bahwa segala bencana alam terjadi juga karena faktor fisika atau dinamika alam.
Manusia yang bermukim di atas suatu kawasan pasti tidak bisa melepaskan diri dari berbagai dampak kerja alam. Karena itulah geologi, ilmu cuaca, vulkanologi, klimatologi, atau sejarah alam, dijadikan pijakan atau kesadaran baru sehingga bencana alam tidak lagi semata hukuman atau cobaan Tuhan tetapi harus bisa diantisipasi sehingga dampak buruk bagi kehidupan bisa diminimalisasi.
Mitos soal bencana alam, khususnya gempa dikenal di kalangan masyarakat Bali, yang berbentuk deskripsi konstruksi dasar semesta atau bumi yang ditopang oleh seekor kura-kura raksasa, dililit oleh sepasang naga. Mitos ini menyadarkan masyarakat bahwa gempa suatu kali akan datang dan bisa dengan kekuatan yang sangat besar.
Sejalan dengan mitos suci tersebut, dalam alam pikiran modern yang ditandai dengan kekuatan rasio, bencana bertubi mendera tanah air menimbulkan penyikapan baru secara nasional, sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden, agar segera menyusun kurikulum kebencanaan yang diintegrasikan dalam pendidikan dalam segala jenjang.
Kurikulum kebencanaan bertujuan untuk mengedukasi siswa sehingga tumbuh kesadaran bahwa bencana adalah keniscayaan karena lokasi negara yang memang berpotensi besar bencana.
Siap menghadapi bencana adalah sikap yang juga penting ditumbuhkan melalui internalisasi dalam pengajaran. Selalu waspada terhadap bencana dapat menjadi "bekal" namun bukan sesuatu yang menghantui. Pelajaran bencana berperan untuk selalu mengingatkan kita bahwa wilayah Indonesia tidak aman ancaman bencana.
Menurut rencana, kurikulum bencana akan diterapkan secara terintegrasi dengan mata pelajaran di sekolah yang mana tidak akan ada mata pelajaran khusus mengenai bencana alam.
Tujuan utama pelajaran kebencanaan ini sangat praktis dan kontekstual, memberi bekal pengetahuan, wawasan mengenai bencana alam, serta cara-cara untuk menyelamatkan diri dari bencana. Karena itulah kurikulum yang akan diterapkan menjadi pelajaran bencana alam perlu disiapkan secara praktis dan bukan teoretis.
Pendekatan kontekstual kebencanaan harus dikedepankan dengan dasar pertimbangan bahwa pelajaran kebencanaan ini terikat dengan lokasi pemukiman atau tempat tinggal para siswa.
Pengetahuan sejarah bencana di suatu desa, kota, pegunungan, pesisir pantai, mulai harus disusun dengan memanfaatkan cerita-cerita yang masih hidup di masyarakat, misalnya peristiwa genjong, ketug, gejer (yang ketiga istilah ini berarti gempa hebat) yang pernah melanda Bali atau banjir bandang yang tiba-tiba terjadi di sebuah sungai kecil yang mana setelah peristiwa ini, bentang alam di sekitar DAS sungai tersebut benar-benar berubah total. Juga dengan mempelajari aspek fisika alam atau wilayah pemukiman setempat.