Lihat ke Halaman Asli

Iwa Sambada

man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu

Ultimatum dan Harapan

Diperbarui: 5 Mei 2023   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Tepat hari ini seperempat abad yang lalu seorang harapan keluarga terlahir di dunia dengan balutan kasih sayang dan mimpi indah yang disematkan. Tepat hari ini pun anak itu sudah tumbuh besar, belum berarti juga dikatakan dewasa, mandiri atau bahkan membanggakan.

Dibandingkan dengan seperempat abad yang lalu mimpi-mimpi indah itu semakin tereduksi menjadi satu benang merah. Iyaa.. asalkan mereka bahagia semuanya akan dilakukan. Meskipun berbagai mimpi sudah banyak tereleminasi nyatanya hidup tidak semudah yang dikira. Apalagi perihal asmaraa.. ah rasanya ingin sekali tertawa sekencang kencangnya. 

tak jarang sesekali atau dua kali dalam sehari, pemuda itu menatap cermin dalam-dalam, mencabut rambut halus dibawah dagu satu persatu dengan dalih tidak ingin segera berumur. bukan karena takut dengan dewasa, namun karena usia dewasa yang artinya usia orang tua yang semakin menua, sedangkan banyak doa yang belum terkabul. masih duduk antri diruang tunggu menanti verifikasi dari si pemuda dengan cara berusaha sekuat tenaga. karena sesungguhnya rumus kun fayakun atau sim salabim adalah doa dan ridho yang tiada putus dan usaha yang terus menerus. konsisitensi untuk berharap yang diimbangi dengan istiqomah dalam berjuang.

Seperempat abad yang kedua..
Ada banyak harapan yang harus diwujudkan
Ada banyak pertanyaan yang perlu jawaban,
Ada banyak kesangsian yang perlu diyakinkan.
Ada banyak suara-suara yang perlu dibungkam
Dengan pembuktian yang nyata

Seperempat abad yang tidak mudah, namun bukan berarti tidak juga indah. Tidak perlu takut untuk melangkah dan bertumbuh, karena masih banyak kegagalan lagi yang harus dicoba, masih banyak lagi kesedihan yang harus diresapi dan masih banyak lagi nikmat yang harus dinikmati. Meskipun kadang suka mikir hidup seperti ini sisi mana lagi yang bisa dicicipi manisnya, semua tinggalah rasa hambar tidak asin tidak manis hanya menyisakan hampa yang tidak ada kejelasanya. 

Namun setelah dipikir pikir lagi seharusnya tanpa embel-embel apapun hidup itu sendiri adalah suatu kenikmatan. Hal itu bisa dirasakan jika mampu menghadirkan dua rasa yaitu syukur dan ikhlas. Mensyukuri yang sudah ada dan mengikhlaskan yang menolak untuk berada, hehehe

Tidak ada doa lain lagi yang terpanjat kecuali pundak yang semakin dikuatkan, dada yang semakin diluaskan, pikiran yang semakin didewasakan dan keyakinan yang tak lagi tergoyahkan. apapun doanya yang penting selalu ditutup dengan Puji Tuhan dengan segala iradahNya..

kata kata ini disusun sebagai memorandum dari aku oleh aku dan untuk aku yang telah memasuki fase yang dulunya kunanti-nantikan dan sekarang harus diperjuangkan dengan mati-matian tanpa harus menanggalkan keyakinan dan secercah senyuman. Untukmu yang membaca ini, siapapun kamu semoga harapanmu juga segera terwujud, segera bangkit dari keterpurukan dan terangkat dari kegelapan, tetap menengadahkan tangan sembari menyebutkan wishlist angan-angan karena Tuhan tak pernah sekejam yang kau bayangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline