Lihat ke Halaman Asli

Yogyakarta atau Jogjakarta ?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13500664941689204769

“Pak, sebenarnya sebutan yang benar itu yang mana, Jogjakarta atau Yogyakarta ?”. ---------------------------------------------------------------------------- Suatu malam yang dingin di kota Jogja. Saya menumpang sebuah taksi bersama empat orang kolega. Kami baru saja beranjak pulang dari Maliobro. Di dalam taksi yang sedang melaju, saya bertanya pada sang sopir yang mengemudikan taksi, tak kencang, juga tak lambat. “Bapak dari mana asalnya ?”. Belum juga dijawab, saya Langsung menyambung lagi, “ Jogja ya pak ?”. Sedikit mencondongkan badan kearah posisi duduk saya di sampingnya, dengan matanya tetap awas ke depan, mengedalikan kemudi, bapak tadi menjawab, “ya mas, saya dari Jogja sini”. Saya mengangguk, memberi sinyal, bahwa saya mengerti jawabannya. Tanpa menunggu ditanya, saya berkata, “saya pendatang pak, asal dari Timur”. Cara yang sama seperti cara saya, bapak itu mengangguk. Sepi menyusuri jalan pulang. Tidak betah dengan situasi ini. Saya lanjut dengan sebuah pertanyaan aneh, ya aneh, karena aneh. Baru pertama kali saya tanyakan pada setiap orang di Jogja yang pernah saya jumpai. “Pak, sebenarnya sebutan yang benar itu yang mana, Jogjakarta atau Yogyakarta ?”. Tanpa menoleh atau mencondongkan badan pak sopir menjawab, “sama aja mas, kan cuma sebutan. Jogja atau Yogya gak beda, orang-orang pada ngerti”. Sedikit senyum dan terkekeh. Belum selesai. Gelagatnya masih ingin mengatakan sesuatu. Setelah itu pak sopir taksi melanjutkan kata-katanya, seraya sedikit memutar stir mobil di sebuah belokan jalan, yang sudah dekat dengan rumah. “Mas, bagi saya ada bedanya Jogja dan Yogyakarta itu. Kalau sebutan Jogja itu untuk orang-orang di luar kampus, wong biasa mas, kayak sayaini. Trus kalo Yogyakarta itu untuk orang-orang kampus, orang-orang berintelijensi, itu para akademisi tu lho, mahasiswa, dosen”. Detik itu pun kami berempat terbahak-bahak, dan pak sopir hanya tersenyum lebar.Taksi perlahan berhenti di halaman rumah. Episode ini diakhiri dengan kata sepakat dan setuju di dalam hati kami, tanpa sebuah alasan yang membantah. Ucapan terima kasih adalah kata terakhir.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline